Rabu, 16 November 2011

Tugas Ilmu Budaya dasar

Upaya merajut stabilitas tatanan kehidupan di Tanah Papua kembali terusik. Rentetan kekerasan yang melibatkan warga dan aparat keamanan yang terjadi dua bulan terakhir menegaskan bahwa kondisi kehidupan masyarakat Bumi Cenderawasih itu belum sepenuhnya bergerak ke arah yang lebih baik.
Bukan kali ini saja kekerasan terjadi di wilayah tersebut. Bahkan sejak 2001, di masa-masa awal harapan masyarakat Papua kembali bangkit melalui pemberlakuan Otonomi Khusus, kekerasan dalam berbagai bentuk dan penyebab telah mereduksi harapan masyarakat Papua terhadap masa depan mereka sendiri.
Kesadaran tentang realitas kegagalan masa lalu dalam “mengindonesiakan” rakyat Papua dan pengakuan tentang harkat dan martabat (dignity) yang sekian lama dipandang sebelah mata, cukup mendapat perhatian besar pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid.
Tokoh nasional yang berkarakter rekonsiliatif tersebut membangun gugusan fondasi rekognitif yang penting dalam perspektif pembangunan Papua yang berjangka panjang.
Gus Dur cukup memahami bahwa sejarah perjalanan bangsa ini sarat dengan perlakuan politik yang tidak seimbang antara pusat dan daerah, pengingkaran terhadap identitas kultural dan hak ekonomi dan politik daerah.
Tidak terkecuali bagi masyarakat yang hidup di Tanah Papua yang memang sejak awal memiliki latar belakang sosio-historis dan kultural yang berbeda dengan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Karena itulah konstruksi keindonesiaan yang dibangun Gus Dur di tengah instabilitas sosial, politik, ekonomi, dan keamanan di Tanah Papua tidak didirikan di atas bangunan struktural dan militeristik, tetapi dengan landasan kultural dan dialogis.
Simbol-simbol kehidupan masyarakat Papua diangkat ke permukaan sebagai bentuk apresiasi terhadap warisan sejarah dan kebanggaan masa lalu. Hal itulah yang dilakukan dengan memperbolehkan simbol dan lambang kultural Papua dirayakan, serta dikembalikannya nama Irian Jaya menjadi Papua Barat (Papua).
Secara psikologis, kebanggaan itulah yang mampu menyatukan masyarakat Papua dengan Indonesia dan mengurai kebersamaan untuk tetap berada di payung Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Gus Dur juga memfasilitasi Kongres Nasional Papua II yang berlangsung pada pertengahan 2000. Meski secara umum kongres tersebut merekomendasikan tuntutan kemerdekaan bagi Papua, komitmen Gus Dur mendekati masyarakat Papua dengan cara kemanusiaan merupakan jalan terbaik saat itu.
Pada 1 Januari 2001, Gus Dur memberi “warisan” penting bagi rakyat Papua dengan pemberlakuan status Otonomi Khusus (Otsus). Setelah ia dilengserkan dari jabatannya sebagai presiden, Megawati Soekarnoputri melegitimasi UU Otonomi Khusus Papua menjadi UU 21/ 2001.
Proses perjalanan Otonomi Khusus itu sendiri tidak berlangsung seperti apa yang diharapkan masyarakat Papua. Komitmen pemerintah pusat untuk menjadikan Papua sebagai bagian integral NKRI tidak didukung dengan implementasi peraturan, perundang-undangan, dan kebijakan yang meletakkan UU Otonomi Khusus tersebut sebagai pedoman utama.
Sebaliknya, berbagai kebijakan yang dilakukan pemerintah pusat justru medegradasi eksistensi Otonomi Khusus dan mengembalikan kewenangan masyarakat Papua ke pangkuan pemerintah pusat.
Persoalan Implementasi
Implementasi Otonomi Khusus menemui serangkaian persoalan signifikan terkait dengan konsistensi pelaksanaan, pemaknaan esensi, hingga kebijakan-kebijakan reduktif yang memberi kesan peran monopolisitik pemerintah terhadap implementasi undang-undang tersebut.
Tak kurang pula tarik-menarik kepentingan politik yang menyelubungi kebijakan Otonomi Khusus yang begitu dominan, melebihi komprehensivitas persoalan di Papua itu sendiri.
Bisa diprediksi, sikap reduktif tersebut cenderung menyederhanakan persoalan, mengidentifikasi persoalan Papua sebagai ancaman dengan memolarisasi identitas-identitas di dalamnya dalam stigma-stigma tertentu (separatisme).
Akibatnya, aksi kekerasan merupakan pemandangan yang tiada pernah usai selama paradigma penanganan persoalan di Papua beranjak jauh dari tujuan utama dan filosofi dasar yang tertuang dalam UU Otonomi Khusus.
Rekognisi terhadap nilai-nilai ke-papua-an yang telah dibangun dengan baik dan melandasi kemunculan UU Otonomi Khusus adalah solusi yang menyentuh akar persoalan di Papua. Rekognisi inilah yang mengakui harkat dan martabat orang Papua sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam mengintegrasikan Papua ke dalam bingkai NKRI.
Otonomi Khusus telah mengafirmasi proses rekognisi ini sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam upaya penanganan persoalan di Papua. Memang solusi tersebut tidak akan menuai hasil dalam waktu sekejap.
Oleh karena itu, kesabaran pemerintah dalam menata kehidupan, menyesuaikan visi dan misi dan membangun kesamaan persepsi dengan masyarakat Papua adalah hal yang mutlak dijalani, sebagaimana kesabaran yang telah ditunjukkan masyarakat Papua dalam mengikuti berbagai kebijakan pemerintah pusat, meski mereka harus menanggung derita yang tiada henti.
Rekognisi menempatkan masyarakat Papua menjadi tuan di rumahnya sendiri, subjek atas persoalan yang sedang mereka hadapi, dan kemerdekaan substansial atas kemiskinan, kebodohan dan ketertinggalan.
Sebaliknya, pengingkaran terhadap upaya rekognisi tersebut hanya menyisakan kekerasan yang tidak sekadar fisik, tetapi juga kultural, yang lambat laut mereduksi keberadaan masyarakat Papua di tanahnya sendiri.
Mencermati kondisi saat ini, cukuplah kiranya kita menempatkan persoalan Papua dalam proses penyelesaian yang lebih komprehensif. Komprehensivitas penyelesaian akan tergambar dari pola penanganan yang tidak pernah melupakan tiga hal.
Pertama, latar belakang sosio-historis dan kultural masyarakat Papua sebagaimana yang ditunjukkan oleh Gus Dur. Rekognisi ke-papua-an dengan mengartifisialisasi simbol dan lambang kedaerahan adalah bagian dari upaya menanamkan kebanggaan, yang pada gilirannya menyatukan perasaan masyarakat sebagai bagian dari NKRI.
Kedua, hakikat dan tujuan UU Otonomi Khusus sebagai payung dan pedoman utama penyelesaian persoalan di Tanah Papua. Hakikat dan tujuan itulah yang perlu diletakkan setiap saat dalam berbagai forum dan dialog, bukan dengan menyandarkan argumentasi pada berbagai kebijakan yang justru mereduksi hakikat dan tujuan tersebut.
Ketiga, persoalan Papua yang bukan sekadar persoalan nasional, melainkan persoalan internasional. Dukungan berbagai negara di dunia turut melegitimasi keberadaan Papua sebagai bagian NKRI. Sebaliknya, pengabaian atas eksistensi Papua pun tidak lepas dari perhatian publik internasional yang justru saat ini menjadi “tempat mengadu”.
Pada akhirnya, tidak ada persoalan yang tak bisa diurai dan diselesaikan dengan baik, selama niat dan kehendak tulus masih bersarang dalam logika akal sehat. Sepuluh tahun operasi kebijakan Otonomi Khusus tidaklah sebanding dengan puluhan tahun masa kelam penderitaan rakyat Papua.
Sementara itu, 25 tahun masa pemberlakuan Otonomi Khusus seharusnya memantik tidur lelap panjang kita untuk terbangun dan menyadari betapa rentang batas masa itu semakin dekat.
Oleh karena itu, tanpa suasana kultural-dialogis, pendekatan komprehensi, retorika tidak cukup mampu mengurai substansial persoalan hingga terselesaikan dengan baik. Selama itu pula, kekerasan di Tanah Papua tiada akan pernah usai.
*Penulis adalah anggota Komisi I DPR

reshuffle kabinet jilid 2


RESHUFFLE KABINET http://studentsite.gunadarma.ac.id/home/index.php

erfokus pada bagaimana kinerja para menteri setelah presiden mengumumkan reshuffle kabinet barunya di Puri Cikeas. Perhatian masyarakat dari berbagai kalangan mulai dari pejabat hingga rakyat, dari pengusaha hingga pemulung, dari parlemen mahasiswa jalanan hingga pengamen jalanan, bahkan sampai media cetak dan media elektronik ramai membicarakan mengenai siapakah menteri yang bertahan atau keluar kabinet karena presiden tidak mengemukakan alasannya memilih atau mengganti seorang menteri sehingga menjadikan masyarakat terus bertanya. Hasil pengumuman reshuffle kabinet, ada 7 menteri yang baru, 4 menteri bergeser jabatan, 1 orang pejabat baru setingkat kementerian dan 24 dari menteri lama bertahan termasuk dua menteri yang tersandung masalah korupsi dan mendapat sorotan tajam dari masyarakat. Memang reshuffle adalah hak tertinggi (prerogatif) presiden sesuai Pasal 17 UUD 1945, sehingga presiden berhak menilai kinerja kementerian di kabinet indonesia bersatu jilid II. Pada reshuffe kali ini presiden juga mengangkat 11 wakil kementerian (wamen) yang baru, ada 6 wamen lama yang bertahan, dan 2 wamen yang digeser karena alasan kinerja, atau alasan karena faktor lain.
Reshuffle kabinet sudah menjadi tradisi didalam sistem tata politik persidensial yang kita anut. Tradisi ini menyebabkan gejolak sosial atau konflik antar kepentingan politik terjadi terutama berkaitan dengan distribusi kekuasaan. Reshuffle kabinet semacam ini rentan dengan konflik laten karena tekanannya bukan pada kualitas tetapi pada kuantitas, hal ini akan mempersempit peluang bagi pemenuhan hak-hak berkat prestasi atau pengisian jabatan atas dasar kompetisi politik. Dampaknya, institusi politik cenderung menghasilkan politik diskriminasi dan kabinet jual-beli (kartel). Apa lagi pemerintah tidak mampu mensterilkan posisi-posisi kementrian yang bermasalah.
Bila reshuffle hanya untuk kepentingan kekuasaan dan bukan untuk tujuan perbaikan pemerintahan maka kepentingan partai yang akan muncul. Resuffle ini berpotensi memunculkan sistem kabinet yang berbasis kartel dengan cara mengeksploitasi sumberdaya negara secara beramai-ramai. Seperti beberapa kasus dari kantor kementerian yang menggunakan dana anggaran negara untuk kepentingan kelompok atau golongan yang tidak pernah diketahui oleh anggota Banggar di DPR. Presiden sebagai pemegang dan pengendali kebijakan pemerintahan, seharusnya menjalankan fungsi pengawasan pro rakyat, dimana partai-partai berkuasa senantiasa diawasi guna mencegah munculnya berbagai aktivitas yang melanggar hukum.
Sistem politik kartel dalam reshuffle kabinet saat ini bagaikan tambal sulam kekuasaan, menteri yang dinilai tidak mampu menjalankan tugasnya di mutasi ke kementrian lain. Kalaupun menteri tersebut harus di ganti maka orang yang ditunjuk berasal dari partai yang sama, hal ini untuk mempertahankan dukungan partai pada pemerintah. Kadang terjadinya pergantian menteri adalah pengalihan masalah kejahatan individu yang bertujuan untuk melindungi kekuasaan kelompok atau golongan, ini merupakan kejahatan politik. Karena itu penting untuk dipahami bersama apa yang disebut sebagai kejahatan politik, jangan sampai kejahatan politik menjadi suatu kesalahan yang ditimpakan pada suatu bangsa atau kelompok warga negara entah karena kolaborasi, konspirasi, atau pembusukan  politik (political decay). Dengan demikian kita tidak berharap reshuffle kabinet hanya bertujuan mengalihkan isu-isu kegagalan roda kepemerintahaan agar hilang dan tidak terbukti dipermukaan.
Reshuffle kabinet saat ini dapat kita identifikasi melalui dua pendekatan. Pertama, pendekatan sosiologi melihat dinamika pembelahan sosial (sosial cleavage), dimana satu partai bisa bertahan atau akan tersingkirkan sebagai bagian dari koalisi besar (grand coalition) atau koalisi turah (oversized coalition) sehingga muncul ketegangan sosial ditingkat kementerian atau konflik kepentingan. Pendekatan ini menekankan pada aspek struktural sehingga mereka yang tidak bisa bertahan akan keluar dari kabinet.
Kedua, pendekatan tabula rasa melihat proses reshufle kabinet menekankan pada aspek kebaruan suatu sistem kabinet yang ideal dan terfokus pada proses evolosioner mulai dari perbaruan sistem kontrak kepartaian, sampai masuknya lobi-lobi kepentingan kekuasaan baru, walaupun kadang tidak rasional dan ditandai oleh kebingungan politik. Sedangkan pendekatan yang terakhir ini lebih menekankan pada aspek nonstruktural dalam pilihan mereshufle sistem kabinet akan meminimalisir membuat kesalahan (misshandling) kedalam wilayah tatanan politik yang sudah dicita-citakan bersama, pilihan ini sebagai tindakan mewujudkan sistem tata kepemerintahan yang baik.
Harapan Resuhffle Bebas Dari Korupsi
Tulisan ini menyapa presiden, sebagai bentuk konstruksi kritis dan sebagai kritik realitas atas wacana yang dibangun dan bukan berasal dari mental murni spekulatif akan tetapi di dukung data yang berada di masyarakat dan jangan dimaknai suatu tindakan yang makar dan provokatif terhadap negara. Rakyat sudah lelah menagih janji-janji presiden, berkali-kali presiden berjanji saat pidato kepresidenan bahwa akan menegakkan keadilan dan memberantas korupsi tetapi hanya wacana. Suatu hal yang naif dalam pandangan kita jika melihat kinerja pemerintah yang suka coba-coba dan hanya sekedar manis dibibir atau obral janji tanpa membuktikan kinerja nyata, apalagi menggusur sosok progresif dan inovatif di Kementerian tanpa alasan.
Presiden adalah garda depan pemegang kunci komando reshuffle kabinet. Seharusnya presiden intropeksi atas kinerja seorang menteri sebelum memutuskan menteri tersebut untuk berhenti dari kabinet. Kita lihat pemberhentian Patrialis Akbar sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia digantikan Amir Syamsudin dari sekretaris dewan kehormatan partai demokrat atau tergantinya Fadel Muhammad dari Menteri Kelautan membuat banyak pihak bertanya, karena selama ini masyarakat melihat kinerja dua menteri tersebut bagus. Sementara itu dua menteri yang sedang tersandung masalah justru tidak diganti. Pergantian ini mencitrakan presiden sebagai sosok dalang yang tidak pandai memainkan wayangnya. Ibarat permainan seni wayang, posisi dalang saat ini sudah terbalik, wayang yang memainkan dalang bukan dalang yang memainkan wayang. Presiden saat ini boleh dibilang masih gagal dalam penegakan keadilan dalam memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme.
Tidak terbongkarnya kasus-kasus korupsi di Kementerian diduga ada indikasi untuk menutup pintu ijtihad termasuk salah satunya pemerintah menerbitkan UU No 39/2008 dalam Pasal 10 disebutkan wamen adalah pejabat karier dan bukan merupakan anggota kabinet, tetapi juga melanggar Perpres No. 24/2010 seperti diangkatnya staf khusus presiden dibidang hukum yang bukan dari pejabat karier seperti Denny Indrayana menjadi wamen Hukum dan HAM, Eko Prasojo guru besar Fisipol UI menjadi wamen Pemberdayaan Apatur Negara, Widjajono Partowidado guru besar ITB menjadi wamen Energi dan Sumber Daya Mineral. Melihat dari produk Perpers dengan UU pasal karet tersebut masih tumpang tindih, ini membuktikan kinerja presiden tidak profesional.
Lahirnya produk kebijakan yang tumpang tindih (overlapping) dalam perspektif sosiologi korupsi, dari produk Perpres sampai UU yang mengandung pasal karet, pada saat suasana memuncak (tone at the top) kesadaran akan pengendalian kabinet akan hilang. Suatu lingkungan pengendalian yang tidak efektif dapat menambah kemungkinan terjadinya kekeliruan (errors), kecurangan kebijakan untuk kepentingan kelompok dan golongan. Tawaran strategi yang ideal, bagaimana kedepannya untuk menekan perilaku penyimpangan dari penyalahgunaan wewenang jabatan. Karena itu reshuffe kabinet bertujuan memperkecil kesempatan korupsi bagi pejabat negara. Korupsi pejabat yang tidak pernah terbukti, kasus-kasus korupsi di partai-partai besar yang tidak pernah tersentuh hukum, belum lagi kasus korupsi yang menjerat politikus di unit-unit kementerian, jika penegakan keadilan hukum tidak terwujud, ini bukti kegagalan kinerja pemerintah.
Azas Moral Resffule Kabinet
Pengertian azas adalah sikap yang mendasari pemimpin saat memasuki politik pencerahan (enlightenment) hendak menata bagaimana kehidupan sosial secara alamiah dan mempertahankan kebebasan demokrasi. Azas politik pencerahan ini dalam logika reshuffle kabinet sangat diperlukan. Ada azas moral yang perlu diperhatikan bagi pemimpin agar komitmen kedaulatan benar-benar mengakomodir kepentingan rakyat sehingga tidak bertabrakan dengan gagasan, falsafah demokrasi, hegemoni rezim penguasa yang harus diadasarkan pada prinsip-prinsip kebenaran, atau bahkan mempunyai komitmen terhadap pencarian kebenaran. Rakyat mengidam-idamkan kesungguhan pemerintah dalam memberantas korupsi, namun tidak ada jaminan untuk itu. Tradisi mereshuffle kabinet menawarkan sumberdaya yang jauh lebih baik dari pada sebelumnya.
Memang sudah saatnya masyarakat  menagih janji pada presiden, sebelum impian itu diwujudkan. Ada suatu azas moral yang seharusnya dicontoh oleh pemimpin-peminpin kita di republik ini seperti kesalehan Socrates seorang guru dari Plato (399 SM) memilih hukuman mati karena ketidaksukaan terhadap konsep politik di Athena yang korup. Menurut Plato azas moral politik saat itu tidak didasari pada pilihan kesadaran mencari kebenaran tetapi lebih dominan menggunakan kekuasaan. Andaikan Socrates masih hidup pasti tersenyum sinis melihat cara reshuffle kabinet indonesia bersatu jilid II dan ia yakin tatanan itu akan menjadi tidak stabil dan akhirnya membusuk menjadi rezim yang penuh korup.
Plato melihat perkembangan demokrasi Atena di masa itu penuh korup, dalam bukunya The Republic, Plato melihat ada ketegangan dramatis antara demokrasi dan kebenaran. Ia menuangkan anologinya bagaimana seorang kapten kapal yang agak tuli, rabun dekat, tolol, yang menurut kita bisa menggambarkan para pemimpin di negeri ini. Orang-orang dengan cakrawala terbatas, sangat rentan kehilangan energi, yang punya kemampuan terbatas dalam menjawab kondisi yang terus berubah. Awak kapal gambaran rakyat umum, memperdebatkan siapa yang menjadi nakhoda kapal, masing-masing mereka beranggapan pantas menjadi pemimpin meski tak seorang pun pernah belajar navigasi. Kebenaran harus dicari dan diwujudkan melalui prinsip kebenaran akal bukan pada kebenaran kekuasaan politik semata.