1.
POLITIK NEGARA
Budaya Politik Negara
Maju dan Berkembang
Budaya politik Negara
Berkembang
Budaya polik Di Negara berkembang menggunakan budaya politik
parochial Partisipan karena pada tatanan ini terlihat Negara – negara
tersebut sedang giat Melakukan pembangunan kebudayaan. Norma – norma yang biasa
nya di perkenalkan bersifat partisipatif ,yang berusaha meraih keselarasa dan
keseimbangan sehingga teentu mereka lebih banyak menuntut kultur partisipan
Persoalan nya ialah bagaimana dalam kondisi ,masyarakat yang sedang
berkembang orientasi terhadap masukan dan keluaran secara simultan pada kondisi
ini system politik biasa nya diliputi oeh transformasi , parokial satu pihak
cendrung kearah otoritarisme,sedangkan pihak lain kearah demokrasi
struktur untukk bersandar tidak dapat terdiri atas kepentingan masyarakat ,
bahkan infrastrukturnya tidak berqakar pada warga Negara yang kompeten
dan bertanggung jawab.
Budaya Politik Di Negara Berkembang
(Thailand)
Berbicara mengenai Thailand, masalah
kudeta militer dan rezim junta militer sangatlah kental dalam perpolitikan di
Thailand. Tak heran jika proses demokratisasi disana mengalami hambatan dan
tantangan menuju sistem demokrasi yang sesungguhnya. Tentunya dinamika ini tak
lepas juga dari budaya politik masyarakat Thai yang masih bersandar dan
berpegang pada nilai-nilai tradisional, sementara dalam demokrasi membutuhkan
nilai-nilai kontemporer yang mengacu pada budaya Barat. Hal inilah yang
kemudian berimplikasi pada pembentukan state-building dan konstitusi
yang mengatur distribusi kekuasaan politik Thailand dimana selalu diwarnai oleh
perebutan dan persaingan antara elit militer, sipil, dan cendekiawan.
Nilai paternalisme dan patriakal
dalam budaya Thai masih melekat erat, dimana mereka menganggap raja sebagai “father”
dalam mengarahkan masyarakat ke arah yang lebih baik. Selain itu, raja dianggap
sebagai perwakilan Wisnu, Siwa, dan Budhisattava yang merupakan titisan dewa.
Sehingga tak heran bila masyarakat Thai lebih mencintai raja daripada politik.
Segala tindak raja merupakan pengejahwantahan dewa yang harus dipatuhi. Hal ini
kemudian bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi yang dilandaskan pada
nilai-nilai liberal. Nilai-nilai tersebut tidak hanya bertentangan tapi nilai
tradisional tersebut teatap dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat
Thai. Akibatnya, budaya politik dan derajat partisipasi masyarakat Thailand
sangat pasif. Padahal untuk membangun sistem demokrasi diperlukan budaya dan
derajat partisipasi politik yang signifikan, yaitu sebuah budaya politik
partisipan dan subjek (Almond). Implikasinya adalah, dengan kepasifan politik
masyarakat Thailand, maka perebutan kekuasaan antara militer, sipil, dan
cendekiawan selalu terjadi dan ini menjadi salah satu problem lain dalam
demokrasi di Thailand. Elit militer merasa dirinya memiliki kapabilitas dan
kapasitas dalam menjalakan pemerintahan dan negara karena latarbelakang
pendidikan akademi militer dapat membuat mereka berpikir strategis dan taktis
yang memang diperlukan oleh pertahanan dan keamanan negara. Selain itu, secara
historis mereka menganggap dirinya berjasa atas pertahanan dan keamanan
Thailand dari kekuatan eksternal baik pada zaman monarki maupun saat revolusi.
Di pihak lain, sipil menganggap bahwa masalah politik merupakan wilayah sipil
yang harus lepas dari campur tangan militer. Mereka cenderung mendukung
profesionalisme militer daripada fungsi militer di ranah politik. Anggapan
mereka bahwa campur tangan militer dapat menghambat proses politik dan
demokrasi. Menurut Sundhaussen (1999) bahwa kebiasaan militer cenderung
anti-demokrasi. Lanjutnya bahwa persepsi tentang lawan dan bagaimana berurusan
dengan mereka sering kali menggiring rezim militer memperlakukan lawan politik
lebih keras dari sepatutnya sehingga merintangi penyelesaian politik.
Sementara, pihak cendekiawan menganggap bahwa dalam menjalankan pemerintahan
dan negara diperlukan sebuah kerangka berpikir dan ilmu mengenai pemerintahan
dan politik dimana hanya kaum cendekiawan itulah yang bisa melakukan. Dengan
pondasi pengetahuan dan ilmu yang yang mereka miliki tersebut mereka menganggap
bisa menjalankan dan selalu menemukan penyelesaian masalah dalam menghadapi
krisis.
Perselisihan dan persaingan politik
tersebut pada hakikatnya tak membawa masyarakat Thailand pada kondisi riot
seperti di Filipina ataupun Myanmar. Karena peran Raja tetap eksis sebagai
simbol zaman keemasan Thailand dan sebagai pengayom masyarakat Thai. Setidaknya
pandangan tersebut menjadikan masyarakat Thai sebagai masyarakat yang “tentram”
tanpa ada pertumpahan darah sebagai akibat persaingan kaum elit tersebut.
Secara garis besar, ada beberapa
karakteristik budaya politik Thailand, yaitu:
- Otoritarianisme => budaya
politik yang ada di Thailand cenderung mengarah pada otoritarianisme
dimana kepemimpinan dipandang sebagai representasi dari dewa sehingga
pelaksanaan perintah nyaris tanpa celah untuk dikritisi. Terlebih ini
didukung dengan budaya patriakal dan paternalistik yang cenderung
mengagungkan pemimpin sebagai “father” dalam keluarga yang punya wewenang dan
kekuasaan atas keluarganya.
- Patron Klien => kaum elit
lebih mengedepankan kepentingan kelompoknya sendiri dari pada kepentingan
untuk melayani rakyat. Sehingga karakter elit lebih pada “tuan yang
diagungkan” dari pada “servant of people”. Hal ini berdampak pada
hubungan antar elit atas kelompoknya lebih kuat daripada dengan rakyat.
- Personalisme => hubungan
personal lebih penting dalam politik Thailand. Begitu pula fungsi seorang
tokoh akan sangat menentukan garis kebijakan politik karena orang Thailand
yang pragmatis lebih melihat figur tokoh daripda ideologi ataupun
latarbelakang partai.
- Hirarkis => orang Thailand
lebih mementingkan tingkatan status daripada pencapaian seseorang.
Senioritas, strata sosial, kekayaan, menjadi faktor utama daripada prestasi
seseorang. Hal ini kemudian yang mengarahkan masyarakat Thailand pada
masyarakat yang unequal.
- Tradisionalisme =>
masyarakat Thailand masih memegang kuat kepercayaan mistis dan tahayul
serta kepercayaan pada nenek moyang. Hal ini membuat irasionalitas menjadi
hal yang umum terjadi dalam menghadapi kehidupan (sifat konservatif).
- Pasivitas => sifat
tradisional dan percaya pada adanya hirarki serta takdir membuat
masyarakat Thailand menjadi pasif dan tidak memiliki interest
terhadap proses dan partisipasi politik.
- Cinta Damai => hal ini tak
lepas dari pengaruh agama Budha yang dianut orang Thailand yang
mengajarkan ajara-ajaran cinta dan damai. Sehingga mereka lebih memilih
untuk mengalah dalam rangka mencapai kedamaian bersama aripada konfrontasi
yang berdampak pada ketidakdamaian. Sehingga tak heran manakala terjadi
kudeta militer tidak sampai terjadi peristiwa berdarah. Karena selain
peran Raja yang berpengaruh terhadap legitimasi kudeta tersebut, peran
agama Budha yang cinta damai juga tak kalah pengaruhnya terhadap way of
life masyarakat Thai.
Berdasarkan hal tersebut diatas maka
dapat dilihat bahwa demokrasi yang ada di Thailand akan selalu mengalami dan
menghadapi two face of dillema dan binarry opposition, yaitu di
satu sisi nilai demokrasi berusaha diterapkan dan dijalankan dengan sepenuh
hati namun disisi lain ada nilai-nilai tradisional yang berberturan dengan
paham demokrasi. Terlebih hal itu diperparah dengan persaingan politik antara
kaum elit yang ada. Jadi, proses transisi menuju Demokrasi yang sesungguhnya
sesuai dengan nilai-nilai liberalisme sangat panjang dan berliku yang musti
dihadapi oleh Thailand.
Tentunya untuk menerapkan sebuah
rezim demokrasi di Thailand butuh waktu yang panjang dan proses adaptasi yang
memakan biaya-sosial yang tinggi manakala nilai-nilai liberalisme Barat harus
menjadi nilai utama dalam tranformasi sosial menuju demokrasi sesungguhnya. Hal
ini diperlukan karena, demokrasi tidak akan bisa diterapkan tanpa menerapkan
nilai-nilai Barat yang memang merupakan pondasi utama bagi kemajuan demokrasi
suatu negara. Permasalahan yang muncul adalah apakah masyarakat bisa menerima
dengan begitu saja sebuah nilai yang bukan merupakan nilai yang berasal dari
budaya setempat? Tentunya antara ya dan tidak. Ya, jika mereka telah merubah tatanan
nilai dan norma sesuai dengan nilai Barat. Tidak, jika mereka menganggap bahwa
nilai tradisional mereka merupakan nilai yang tidak dapat dihilangkan dan
ditinggalkan begitu saja karena telah mengakar kuat dalam akar budaya dan
sistem kepercayaan mereka. Bagi masyarakat Thai, hal tersebut cenderung pada
Tidak, karena nilai-nilai yang mereka miliki meruupakan nilai warisan nenek
moyang dan merupakan hal yang sakral apabila ditinggalkan. Terlebih, akar
budaya agama Budha sangatlah kental dalam membentuk karakter masyarakat Thai.
Tak heran jika budaya politik mereka adalah Parokial, dicirikan dengan
rendahnya pengetahuan dan kesadaran politik, dan Subjek, dicirikan kepatuhan
pada pejabat-pejabat pemerintahan dan hukum yang berlaku.
Oleh karena itu, merujuk pada kaum
postmodernis, nilai-nilai demokrasi pada hakikatnya bisa diterapkan sesuai
dengan tata nilai dan budaya yang ada di Thailand sendiri, jadi Demokrasi ala
Thailand. Karena, pembangunan politik dan sosial suatu bangsa bisa jadi sama,
yaitu ingin mencapai masyarakat yang adil, makmur, dan madani, namun wujud
untuk mencapainya berbeda. Sehingga nilai terbaik bagi Thailand sebenarnya
bukanlah nilai Demokrasi sesuai dengan standar Barat tetapi dapat diadaptasi
dan dimodifikasi dengan nilai-nilai dan tradisi Thai yang pada akhirnya akan
tercipta rezim demokrasi sesuai dengan social-character masyarakat Thai.
Bila itu tercapai maka tidaklah suatu hal yang mustahil jika kondisi politik
akan stabil tanpa ada persaingan antar elit.
Hal yang perlu dilihat lagi adalah
untuk membangun rezim demokrasi ala Thailand seharusnya ketiga elit yang
bertentangan tersebut harus menyadari akan nilai-nilai Thai sehingga mereka
dapat berkumpul bersama dengan raja dan rakyatnya untuk membentuk semacam
konsensus nasional bagi pembanguanan state building yang diinginkan.
Tetapi, apakah itu mungkin? Kita lihat saja bagaimana tekanan dari negara
tetangga terhadap Thailand akan merubah semua itu dan bagaimanan kaum elit
tersebut sadar akan posisi nilai di masyarakat Thai. Sekali lagi kapan?
Perbandingan Dengan Budaya Politik
Di Indonesia
Budaya yang berasal dari kata
‘buddhayah’ yang berarti akal, atau dapat juga didefinisikan secara terpisah
yaitu dengan dua buah kata ‘budi’ dan ‘daya’ yang apabila digabungkan
menghasilkan sintesa arti mendayakan budi, atau menggunakan akal budi tersebut.
Bila melihat budaya dalam konteks politik hal ini menyangkut dengan sistem
politik yang dianut suatu negara beserta segala unsur (pola bersikap & pola
bertingkah laku) yang terdapat didalamnya.
Sikap & tingkah laku politik seseorang menjadi suatu obyek penanda
gejala-gejala politik yang akan terjadi pada orang tersebut dan orang-orang
yang berada di bawah politiknya. Contohnya ialah jikalau seseorang telah
terbiasa dengan sikap dan tingkah laku politik yang hanya tahu menerima,
menurut atau memberi perintah tanpa mempersoalkan atau memberi kesempatan buat
mempertanyakan apa yang terkandung dalan perintah itu. Dapat diperkirakan orang
itu akan merasa aneh, canggung atau frustasi bilamana ia berada dalam
lingkungan masyarakatnya yang kritis, yang sering, kalaulah tidak selalu,
mempertanyakan sesuatu keputusan atau kebijaksanaan politik.
Kebudayaan politik Indonesia pada dasarnya bersumber pada pola sikap dan
tingkah laku politik yang majemuk.
Idealisme diakui memanglah penting. Tetapi bersikap berlebihan atas idealisme
itu akan menciptakan suatu ideologi yang sempit yang biasanya akan menciptakan
suatu sikap dan tingkahlaku politik yang egois dan mau menang sendiri.
Demokrasi biasanya mampu menjadi jalan penengah bagi atas polemik ini.
Budaya politik Negara Maju
Budaya Politik di Negara maju dapat kita lihat di Negara jepang
Dimana jepang adalah salah satu dari sedikit negara-negara
non-Eropa untuk memodernisasi sementara tetap mempertahankan budaya sendiri..
Budaya ini tetap terwujud dalam politik dan ekonomi Jepang. Salah satu aspek
dari Jepang pasca-perang budaya politik adalah bahwa Jepang enggan untuk
menerima rasa bersalah perang. dengan banyak fitur lain dari kehidupan politik
Jepang mencerminkan norma yang kuat dari kelompok menjaga harmoni.. Individu
diajarkan bahwa kelompok pertama datang, dan mereka bersedia menerima kerja
keras, kondisi hidup miskin, dan terbatas kebebasan pribadi untuk mendukung
kelompok. Mempekerjakan ujian sulit untuk menentukan kemajuan. Para mahasiswa
masuk universitars dapat menentukan jenis pekerjaan apa yang ia akan
memperoleh setelah lulus. Perusahaan kesetiaan dan rasa hormat yang kuat..
Beberapa pekerja Jepang menderita karoshi, sebuah penyakit yang disebabkan oleh
terlalu banyak bekerja.. Namun, sikap ini berubah dengan generasi muda, yang
lebih mirip dengan rekan Amerika dan Eropa. Meskipun budaya Jepang tidak
berubah, ia melakukannya perlahan-lahan dan pada istilah Jepang
Budaya Politik Di Negara Maju
(Singapura)
Budaya politik di Singapura telah
mengalami berbagai pengaruh dari luar terutama pengaruh ketika dijajah
oleh colonial Inggris, sehingga perkembangan sistem politik di Singapura lebih signifikan dan telah mengalami kemajuan daripada Negara
lain.
Arena politik dikuasai
oleh Partai Aksi Rakyat (PAP) yang telah memerintah sejak Singapura merdeka.
Pemerintah PAP sering dikatakan memperkenalkan undang-undang yang tidak memberi
kesempatan tumbuhnya penumbuhan partai-partai oposisi yang efektif. Cara
pemerintahan PAP dikatakan lebih cenderung kepada otoriter daripada demokrasi yang
sebenarnya. Namun, cara pemerintahan tersebut berhasil menjadikan Singapura
sebuah negara yang maju, bebas daripada korupsi dan memiliki pasar
ekonomi yang terbuka. Para ahli politik menganggap Singapura sebuah negara yang
berideologi ‘demokrasi sosialis’.
Meskipun begitu Lee Kwan Yew,
pendiri dan perancang sistem politik negara Singapura juga telahmengembangkan
konsep yang menempatkan nilai budaya sebagai elemen penting dalam sebuah sistem
politik. Menurutnya politik berbasis multibudaya tidak akan pas bagi negara
dengan masyarakat yang multirasial seperti Singapura.
Sebagai konsekuensinya, di Singapura
ditetapkan sebuah sistem yang oleh dunia Barat
dianggap tidak demokratis. Hal ini menunjukkan bahwa Singapura merupakan
“anauthoritarian Confucian anomaly among the wealthy countries of the world”
(Huntington, 1991: 302).
Hasil pemikiran para pakar umunya
menyimpulkan bahwa budaya memberikan pengaruh tertentu bagaimana demokrasi
diadopsi oleh berbagai negara (lihat Alagappa, 1996;
Fukuyama, 1996; Lipset, 1996; Huntington, 1996: Inglehart, 2000). Berkembang
pemikiran nilai budaya sebagai faktor determinan yang menentukan suksesnya
ekonomi negara-negara Asia Timur. Tetapi sejak terjadinya krisis ekonomi,
argumentasi mengenai keunggulan nilai budaya Asia (Asian values) seakan
menghilang.
Amartya Sen (2001: 6) mengritik
hipotesis Lee Kwan Yew bahwa negara yang didominasi oleh budaya Confucianism
mempunyai peluang pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat,
hanyalah berbasis pada perhitungan empiris yang sporadik dari informasi yang
terbatas dan sangat selektif.
Kenyataan memang menunjukan
negara-negara di Asia dalam membangun sistem demokrasinya lebih banyak
mengedepankan gaya demokrasi ala barat seperti Filipina, Korea,Thailand, Taiwan
dan sekarang ini Indonesia. Walaupun demikian nilai budaya masih dianggap
sebagai variabel penting dalam pelaksanaan demokrasi. Seperti dinyatakan oleh
Inglehart (2000: 96) bahwa dalam jangka panjang, demokrasi tidak hanya didasari
pada perubahan institusi atau perilaku elit politik, melainkan
keberlangsungannya akan tergantung pada nilai dan kepercayaan dari masyarakat
awam di wilayahnya.
Dahl (1997: 34) memperkuat gagasan
bahwa konsolidasi demokrasi menuntut budaya demokrasi yang kuat yang memberikan
kematangan emosional dan dukungan yang rasional untuk menerapkan
prosedur-prosedur demokrasi. Ia melandaskan penekanannya pada pentingnya budaya
demokrasi pada asumsi bahwa semua sistem politik termasuk
sistem demokrasi, cepat atau lambat akan menghadapi krisis, dan budaya
demokrasi yang tertanam dengan kuatlah yang akan menolong negara-negara
demokrasi melewati krisis tersebut.
Implikasinya proses demokratisasi
tanpa budaya demokrasi yang mengakar menjadi rentan dan bahkan hancur ketika
menghadapi krisis seperti kemerosotan ekonomi, konflik regional atau konflik
sosial, atau krisis politik yang disebabkan oleh korupsi atau kepemimpinan yang
terpecah. Sejalan dengan pemikiran Dahl, Huntington (ibid: 258)
memfokuskan pada isu budaya demokrasi dalam hubungan antara kinerja dan
efektifitas pemerintah demokratis baru dan legitimasinya, sebagai bentuk
kepercayaan publik dan elit politik terhadap sistem nilai demokrasi. Budaya
demokratis harus berarti
adanya pemahaman bahwa demokrasi bukanlah panacea. Karena itu, konsolidasi
demokrasi terjadi bila masyarakat menyadari bahwa demokrasi merupakan solusi
dari masalah tirani tetapi belum tentu untuk masalah lain (ibid: 263).
Huntington memperingatkan bahwa
tahun-tahun pertama berjalannya masa kekuasaan
pemerintahan demokratis yang baru, umumnya akan ditandai dengan bagi-bagi
kekuasaan di antara koalisi yang menghasilkan transisi demokrasi tersebut,
penurunan efektifitas kepemimpinan dalam pemerintahan yang baru sedangkan dalam
pelaksanaan demokrasi itu sendiri belum akan mampu menawarkan solusi mendasar
terhadap
berbagai permasalahan sosial dan ekonomi di negara yang bersangkutan. Tantangan
bagi
konsolidasi demokrasi adalah bagaimana menyelesaikan masalah-masalah tersebut
dan tidak justru hanyut oleh permasalahan-permasalahan itu.
Kesimpulan
Meskipun, Negara Indonesia termasuk
Negara baru merdeka atau baru berkembang dari Negara lainnya, namun Negara
Indonesia memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap perkembangan
dunia Internasional saat itu.
Budaya politik yang diterapkan oleh
Negara Indonesia pun tidak mengalami pengaruh dari intimidasi Negara lain.
Itulah dia budaya politik “Demokrasi” yang menjunjung sikap dan perilaku yang
terpuji, baik dari per Individu maupun kolektif.
Kita sebagai warga Negara Indonesia
sebaiknya kita berbanga hati karena Negara kita memiliki budaya politik yang
sangat sistematis, dan tersusun rapi dalam pelaksanaan nya, dan tidak
mengalami pengaruh dari luar.
Meskipun, pengaruh dari luar memilki
pengaruh yang sangat baik bagi perkembagan budaya politik kita. Namun, itu akan
memudarkan keaslian dari budaya politik Indonesia yang sesungguhnya. Bhineka
tunggal Ika itulah kita “berbeda-beda tetapi satu jua”
Itulah juga yang menjadi inspirasi
bagi budaya politik kita.
Layaknya Negara Singapura yang
dulunya juga merupakan wilayah jajahan Inggris sekarang telah menjadi atau
termasuk salah satu Negara Maju itu karena mereka juga memilki kemampuan untuk
menerima dan menyeleksi pengaruh dari luar agar dapat menjadi sebuah kemajuan
bagi bangsanya sendiri terutama di bidang pembangunan, politik, ekonomi, dan
lain lain. Malah mereka memiliki budaya politik yang lebih maju.
Saya mengatakan seperti itu, bukan
berarti Negara Indonesia juga tidak bisa melakukan seperti apa yang bisa
mereka lakukan. Beberapa factor mempengaruhi kenapa pengaruh luar itu sangat
tidak sesuai bagi perkembangan Negara kita baik di bidang budaya, politik,
patriotisme, dan lainnya.
2.
PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Para ilmuwan politik dan para ilmuwan sosial pada umumnya telah banyak
mengembangkan model, pendekatan, konsep dan rancangan untuk menganalisis
pembuatan kebijaksanaan negara dan komponennya, yaitu pengambilan/pembuatan
keputusan. Sekalipun demikian, pada umumnya ahli-ahli ilmu politik lebih sering
menunjukkan hasrat yang tebih besar dalam mengembangkan teori mengenai
kebijaksanaan negara daripada mempelajari praktek kebijaksanaan negara itu
sendiri. Walaupun begitu, haruslah diakui bahwa konsep-konsep dan model-model
tersebut amat penting dan bermanfaat guna dijadikan pedoman dalam analisis
kebijaksanaan, karena konsep-tonsep dan model-model tersebut dapat memperjelas
dan mengarahan pemahaman kila tcrhadap pembuatan kebijaksanaan negara’
mempermudah arus komunikasi dan memberikan penjelasan yang memadai bagi
tindakan kebijaksanaan. Jelasnya, jika kita bermaksud mempelajari atau meneliti
kebijaksanaan tertentu maka kita membutuhkan suatu pedoman dan kriteria yang
relevan dengan apa yang sedang menjadi pusat perhatian kita. Sebab, apa yang
kita temukan dalam realita sebetulnya bergantung pada apa yang kita cari, dan
dalam hubungan ini konsep-konsep dan teori-teori kebijaksanaan yang ada dapat
memberikan arah pada penelitian yang sedang kita lakukan.
Pembuatan Kebijaksanaan Negara menurut seorang pakar
kebijaksanaan negara dari Afrika, chief J.o. Udoji (1981) merumuskan secara
terperinci pembuatan kebijaksanaan negara sebagai keseluruhan proses yang
menyangkut pengartikulasian dan pendefinisiaan masalah, perumusan kemungkinan-kemungkinan
pemecahan masalah dalam bentuk tuntutan-tuntutan politik, penyaluran
tuntutan-tuntutan tersebut ke dalam sistem politik, pengupayaan pemberian
sanksi-sanksi atau legitimasi dari arah tindakan yang dipilih, pengesahan dan
pelaksanaan /implementasi, monitoring dan peninjauan kembali (umpan balik).
Pengambilan keputusan mengandung arti pemilihan altematif
terbaik dari sejumlan Atematif yang tersedia. Teori-teori pengambilan keputusan
bersangkut paut dengan masalah bagaimana pilihan-pilihan semacam itu dibuat.
Kebijaksanaa, sebagai telah kita rumuskan di muka, adalah suatu tindakan yang
mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh seseorang aktor atau sejumlah
aktor berkenaan dengan suatu masalah atau persoalan tertentu.
Secara tipikal pembuatan kebijaksanaan merupakan tindakan yang berpola, yang
dilakukan sepanjang waktu dan melibatkan banyak keputusan yang di antaranya ada
yang merupakan keputusan rutin, ada yang tidak rutin. Dalam praktek pembuat
kebijaksanaan sehari-hari amat jarang kita jumpai suatu kebijaksanaan yang
hanya terdiri dari keputusan tunggal. Dalam tulisan ini akan dibahas 3 (tiga)
teori pengambilan keputusan yang dianggap paling sering dibicarakan dalam
pelbagai kepustakaan kebijaksanaan negara.
Teori-teori yang dimaksud ialah : teori Rasional komprehensif, teori
Inkremental dan teori Pengamatan terpadu.
Teori Rasional Komprehensif
Teori pengambilan keputusan yang paling dikenal dan mungkin pula yang banyak
diterima oleh kalangan luas ialah teori rasional komprehensif. Unsur-unsur utama
dari teori ini dapat dikemukakan sebagai berikut :
1. Pembuat keputusan dihadapkan pada.suatu masalah tertentu yang dapat
dibedakan dari masalah-masalah lain atau setidaknya dinilai sebagai
masalah-masalah yang dapat diperbandingkan satu sama lain.
2. Tujuan-tujuan, nilai-nilai, atau sasaran yang mempedomani pembuat keputusan
amat jelas dan dapat ditetapkan rangkingnya sesuai dengan urutan
kePentingannya.
3. Pelbagai altenatif untuk memecahkan masalah tersebut diteliti secara
saksama.
4. Akibat-akibat (biaya dan manfaat) yang ditmbulkan oleh setiap altenatif Yang
diPilih diteliti.
5. Setiap alternatif dan masing-masing akibat yang menyertainya,
dapat diperbandingkan dengan alternatif-altenatif lainnya.
6. Pembuat keputusan akan memilih alternatif’ dan akibat-akibatnya’ yang dapat
memaksimasi tercapainya tujuan, nilai atau Sasaran yang telah digariskan.
Teori rasional komprehensif banyak mendapatkan kritik dan kritik yang paling
tajam berasal dari seorang ahli Ekonomi dan Matematika Charles Lindblom (1965 ,
1964′ 1959)’ Lindblom secara tegas menyatakan bahwa para pembuat keputusan itu
sebenarya tidaklah berhadapan dengan masalah-masalah yang konkrit dan
terumuskan dengan jelas.
Lebih lanjut, pembuat keputusan kemungkinan juga sulit untuk memilah-milah
secara tegas antara nilai-nilainya sendiri dengan nilai-nilai yang diyakini
masyarakat. Asumsi penganjur model rasionar bahwa antara fakta-fakta dan
nilai-nilai dapat dengan mudah dibedakan, bahkan dipisahkan, tidak pemah
terbukti dalam kenyataan sehari-hari. Akhirnya, masih ada masalah’ yang disebut
,,sunk_cost,,. Keputusan_-keputusan, kesepakatan-kesepakatan dan investasi
terdahulu dalam kebijaksanaan dan program-program yang ada sekarang kemungkinan
akan mencegah pembuat keputusan untuk membuat keputusan yang berbeda sama
sekali dari yang sudah ada.
Untuk konteks negara-negara sedang berkembang, menurut R’s. Milne (1972),
mode irasionar komprehensif ini jelas tidak akan muduh diterapkan. Sebabnya
ialah: informasi/datastatistik tidak memadai ; tidak memadainya perangkat teori
yang siap pakai untuk kondisi- kondisi negara sedang berkembang ; ekologi
budaya di mana sistem pembuatan keputusan itu beroperasi juga tidak mendukung
birokrasi di negara sedang-berkembang umumnya dikenal amat lemah dan tidak
sanggup memasok unsur-unsur rasionar dalam pengambilan keputusan.
Teori Inkremental
Teori inkremental dalam pengambilan keputusan mencerminkan suatu teori
pengambilan keputusan yang menghindari banyak masalah yang harus
dipertimbangkan (seperti daram teori rasional komprehensif) dan, pada saat yang
sama, merupakan teori yang lebih banyak menggambarkan cara yang ditempuh oleh
pejabat-pejabat pemerintah dalam mengambil kepurusan sehari-hari.
Pokok-pokok teori inkremental ini dapat diuraikan sebagai berikut.
a. Pemilihan tujuan atau sasaran dan analisis tindakan empiris yang
diperlukan untuk mencapainya dipandang sebagai sesuatu hal yang saling terkait
daripada sebagai sesuatu hal yang saling terpisah.
b. Pembuat keputusan dianggap hanya mempertimbangkan beberapa altematif yang
langsung berhubungan dengan pokok masalah dan altematif-alternatif ini hanya
dipandang berbeda secara inkremental atau marginal bila dibandingkan dengan
kebijaksanaan yang ada sekarang.
c. Bagi tiap altematif hanya sejumlah kecil akibat-akibat yang mendasar saja
yang akan dievaluasi.
d. Masalah yang dihadapi oleh pembuat keputusan akan didedifinisikan secara
terarur. Pandangan inkrementalisme memberikan kemungkin untuk mempertimbangkan
dan menyesuaikan tujuan dan sarana serta sarana dan tujuan sehingga menjadikan
dampak dari masalah itu lebih dapat ditanggulangi.
e. Bahwa tidak ada keputusan atau cara pemecahan yang tepat bagi tiap masalah.
Batu uji bagi keputusan yang baik terletak pada keyakinan bahwa berbagai
analisis pada akhirnya akan sepakat pada keputusan tertentu meskipun tanpa
menyepakati bahwa keputusan itu adalah yang paling tepat sebagai sarana untuk
mencapai tujuan.
f. Pembuatan keputusan yang inkremental pada hakikatnya bersifat
perbaikan-perbaikan kecil dan hal ini lebih diarahkan untuk memperbaiki
ketidaksempunaan dari upaya-upaya konkrit dalam mengatasi masalahsosial yang
ada sekarang daripada sebagai upaya untuk menyodorkan tujuan-tujuan sosial yang
sama sekali baru di masa yang akan datang.
Kepurtusan-keputusan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pada hakikatnya
merupakan produk dari saling memberi dan menerima dan saling percaya di antara
pelbagai pihak yang terlibat dalam proses keputusan tersebut. Dalam masyarakat
yang strukturnya majemuk paham lnkremental ini secara politis lebih aman karena
akan lebih gampang untuk mencapai kesepakatan apabila masalatr-masalah yang
diperdebatkan oleh pelbagai kelompok yang terlibat hanyalah bersifat upaya
untuk memodifikasi terhadap program-program yang sudah ada daripada jika hal
tersebut menyangkut isu-isu kebijaksanaan mengenai perubahan-perubahan yang
radikal yang memiliki sifat ” ambil semua atau tidak sama sekali. Karena para
pembuat keputusan itu berada dalam keadaan yang serba tidak pasti khususnya
yang menyangkut akibat-akibat dari tindakan-tindakan mereka di masa datang,
maka keputusan yang bersifat inkremental ini akan dapat mengurangi resiko dan
biaya yang ditimbulkan oleh suasana ketidakpastian itu Paham inkremental ini
juga cukup rcalistis karena ia menyadari bahwa para pembuat keputusan sebenamya
kurang waktu, kurang pengalaman dan kurang sumber-sumber lain yang diperlukan
untuk melakukan analisis yang komprehensif terhadap semua altematif untuk
memecahkan masalah-masalah yang ada.
Teori Pengamatan Terpadu (Mixed Scanning Theory)
Penganjur teori ini adalah ahli sosiologi organisasi Amitai Etzioni. Etzioni
setuju terhadap kritik-kritik para teoritisi inkremental yang diarahkan pada
teori rasional komprehensif, akan tetapi ia juga menunjukkan adanya beberapa
kelemahan yang terdapat pada teori inkremental. Misatnya, keputusan-keputusan
yang dibuat oleh pembuat keputusan penganut model inkremental akan lebih
mewakili atau mencerminkan kepentingan-kepentingan dari kelompok-kelompok yang
kuat dan mapan serta kelompok-kelompok yang mampu mengorganisasikan
kepentingannya dalam masyarakat, sementara itu kepentingan-kepentingan dari
kelompok-kelompok yang lemah dan yang secara politis tidak mampu
mengorganisasikan kepentingannya praktis akan terabaikan. Iebih lanjut” dengan
memusatkan perhatiannya pada kepentingan/tujuan jangka pendek dan hanya
berusaha untuk memperhatikan variasi yang terbatas dalam
kebijaksanaan-kebijaksanaan yang ada sekarang, maka model inkremental cenderung
mengabaikan peluang bagi perlunya pembaruan sosial (social inovation) yang mendasar.
Oleh karena itu, menurut Yehezkel Dror (1968) gaya inkremental dalam
pembuatan keputusan cenderung menghasilkan kelambanan dan terpeliharanya status
quo, sehingga merintangi upaya menyempurnakan proses pembuatan keputusan itu
sendiri. Bagi sarjana seperti Dror– yang pada dasamya merupakan salah seorang
penganjur teori rasional yang terkemuka — model inkremental ini justru
dianggapnya merupakan strategi yang tidak cocok untuk diterapkan di
negara-negara sedang berkembang, sebab di negara-negara ini perubahan yang
kecil-kecilan (inkremental) tidaklah memadai guna tercapainya hasil berupa
perbaikan-perbaikan besar-besaran.
Model pengamatan terpadu juga memperhitungkan tingkat kemampuan para pembuat
keputusan yang berbeda-beda. Secara umum dapat dikatakan, bahwa semakin besar
kemampuan para pembuat keputusan untuk memobilisasikan kekuasaannya guna
mengimplementasikan keputusan-keputusan mereka, semakin besar keperluannya
untuk melakukan scanning dan semakin menyeluruh scanning itu, semakin efektif
pengambilan keputusan ‘tersebul Dengan demikian, moder pengamatan terpadu ini
pada hakikatnya merupakan pendekatan kompromi yang menggabungkan pemanfaatan
model rasional komprehensif dan moder inkremental dalam proses pengambilan
keputusan.
Kriteria pengambilan Keputusan
Menurut konsepsi Anderson, nilai-nilai yang kemungkinan menjadi pedoman
perilaku para pembuat keputusan itu dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat)
kategori, yaitu:
Nilai-nilai Politik.
Pembuat keputusan mungkin melakukan penilaian atas altematif kebijaksanaan yang
dipilihnya dari sudut pentingnya altematif-altematil itu bagi partai politiknya
atau bagi kelompok-kelompok klien dari badan atau organisasi yang dipimpinnya.
Keputusan-keputusan yang lahir dari tangan para pembuat keputusan seperti ini
bukan mustahil dibuat demi keuntungan politik’ dan kebijaksanaan dengan
demikian akan dilihat sebagai instrumen untuk memperluas pengaruh-pengaruh
politik atau untuk mencapai tujuan dan kepentingan dari partai politik atau
tujuan dari kelompok kepentingan yang bersangkutan.
Nilai-nilai organisasi.
Para pembuat kepurusan, khususnya birokrat (sipil atau militer), mungkin dalam
mengambil keputusan dipengaruhi oleh nilai-nilai organisasi di mana ia terlibat
di dalamnya’ Organisasi, semisal badan-badan administrasi, menggunakan berbagai
bentuk ganjaran dan sanksi dalam usahanya untuk memaksa para anggotanya
menerima, dan bertindak sejalan dengan nilai-nilai yang telah digariskan oleh
organisasi. Sepanjang nilai-nilai semacam itu ada, orang-orang yang bertindak selaku
pengambil keputusan dalam organisasi itu kemungkinan akan dipedomani oleh
pertimbangan-pertimbangan semacam itu sebagai perwujudan dari hasrat untuk
melihat organisasinya tetap lestari, unuk tetap maju atau untuk memperlancar
program-program dan kegiatan-kegiatannya atau atau untuk mempertahankan
kekuasaan dan hak-hak istimewa yang selama ini dinikmati.
Nilai-nitai Pribadi.
Hasrat untuk melindungi atau memenuhi kesejateraan atau kebutuhan fisik atau
kebutuhan finansial’ reputasi diri, atau posisi historis kemungkinan juga
digunakan- oleh para pembuat teputusan sebagai kriteria dalam pengambilan
keputusan.
Para politisi yang menerima uang sogok untuk membuat kepurusan tertentu yang
menguntungkan si pemberi uang sogok, misalnya sebagai hadiah pemberian perizinan
atau penandatanganan kontrak pembangunan proyek tertentu, jelas mempunyai
kepentingan pribadi dalam benaknya. Seorang presiden yang mengatakan di depan
para wartawan bahwa ia akan menggebut siapa saja yang bertindak
inkonstirusional, jelas juga dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan
pribadinya’misalnya agar ia mendapat tempat terhormat dalam sejarah bangsa
sebagai seseorang yang konsisten dan nasionalis.
Nilai-nilai Kebijaksanaan.
Dari perbincangan di atas, satu hal hendaklah dicamkan, yakni janganlah kita
mempunyai anggapan yang sinis dan kemudian menarik kesimpulan bahwa para
pengambil keputusan politik inr semata-mata hanyalah dipengaruhi oleh
pertimbangan-penimbangan demi keuntungan politik, organisasi atau pribadi.
Sebab, para pembuat keputusan mungkin pula bertindak berdasarkan atas penepsi
mereka terhadap kepentingan umum atau keyakinan tertentu mengenai kebijaksanaan
negara apa yang sekiranya secara moral tepat dan benar. Seorang wakil rakyat
yang mempejuangkan undang-undang hak kebebasan sipil mungkin akan bertindak
sejalan dengan itu karena ia yakin bahwa tindakan itulah yang secara moral
benar, dan bahwa persamaan hak-hak sipil itu memang merupakan tujuan
kebijaksanaan negara yang diinginkan, tanpa mempedulikan bahwa perjuangan itu mungkin
akan menyebabkannya mengalami resiko-resiko politik yang fatal.
Nilai-nilai Ideologis.
Ideologi pada hakikatnya merupakan serangkaian nilai-nilai dan keyakinan yang
secara logis saling berkaitan yang mencerminkan gambaran sederhana mengenai
dunia serta berfungsi sebagai pedoman benindak bagi masyarakat yang
meyakininya. Di berbagai negara sedang berkembang di kawasan Asia, Afrika dan
Timur Tengah nasionalisme yang mencerminkan hasrat dari orang-orang atau bangsa
yang bersangkutan untuk merdeka dan menentukan nasibnya sendiri — telah
memberikan peran penting dalam mewamai kebijaksanaan luar negeri maupun dalam
negeri mereka. Pada masa gerakan nasional menuju kemerdekaan, nasionalisme
telah berfungsi sebagai minyak bakar yang mengobarkan semangat perjuangan
bangsa-bangsa di negara-negara sedang berkembang melawan kekuatan kolonial.
Di Indonesia, ideologi Pancasila setidaknya bila dilihat dari sudut perilaku
politik regim, telah berfungsi sebagai resep untuk melaksanakan perubahan
sosial dan ekonomi. Bahkan ideologi ini kerapkali juga dipergunakan sebagai
instrumen pengukur legitimasi bagi partisipasi politik atau partisipasi dalam
kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok dalam masyarakat
(Abdul Wahab, Solichin, 1987).
Aktor-aktor Yang Berperan Dalam Proses Kebijaksanaan
Dalam proses kebijaksanaan, menurut Charles O. Jones, sedikitnya ada 4 (empat)
golongan atau ripe aktor (pelaku) yang terlibat, yakni : golongan rasionalis,
golongan teknisi, golongan inkrementalis, dan golongan reformis. Sungguhpun
demikian, patut hendaknya diingat bahwa pada kesempatan tertentu dan untuk
suatu jenis isu tertentu kemungkinan hanya satu atau dua golonga aktor tertentu
yang berpengaruh dan aktif terlibat. Peran yang dimainkan oleh keempat golongan
aktor tersebut dalam proses kebijaksanaan, nilai-nilai dan tujuan yang mereka
kejar serta gaya kerja mereka berbeda satu sama lain. Uraian berikut akan
menguraikan bagaimana perilaku masingmasing golongan aktor tersebut dalam
proses kebijaksanaan.
Golongan Rasionalis. Ciri-ciri utama dari kebanyakan golongan aktor
rasionalis ialatl batrwa dalam melakukan pilihan altematif kebijaksanaan mereka
selalu menempuh metode dan langkah-langkah berikut :
1) mengidentifikasikan masalah;
2) merumuskan tujuan dan menysunnya dalam jenjang tertentu;
3) mengidentifikasikan semua altematif kebijaksanaan;
4) meramalkan atau memprediksi akibat-akibat dari tiap altematif;
5) membandingkan akibat-akibat tersebut dengan selalu mengacu pada tujuan;
6) dan memilih alternatif terbaik.
Berdasarkan pada ciri-ciri tersebut, maka perilaku golongan aktor rasionalis
ini identik dengan peran yang dimainkan oleh para perencana dan analis
kebijaksanaan yang profesional yang amat terlatih dalam menggunakan
metode-metode rasional apabila menghadapi masalah-masalah publik.
Oleh golongan rasionalis ini metode-metode seperti itu kerapkali merupakan
nilai-nilai yang amat dipuja-puja, sehingga tidak heran apabila metode-metode
itulah yang selalu mereka anjurkan untuk dipergunakan. Dengan metode rasional
ini diasumsikan bahwa segala tujuan dapat ditetapkan sebelumnya dan bahwa
informasi/data yang serba lengkap dapat disediakan. Oleh sebab itu gaya kerja
golongan rasionalis cenderung seperti gaya kerja seoriang perencana yang
komprehensif, yakni seorang yang berusaha untuk menganalisis semua aspek dari
setiap isu yang mucul dan menguji setiap altematif yang mungkin berikut semul
akibat dan dukungannya terhadap tercapainya tujuan yang telah ditetapkan.
Golongan Teknisi.
Seorang teknisi pada dasamya tidak lebih dari rasionalis, sebab ia adalah
seorang yang karena bidang keahliannya atau spesialisasinya dilibatkan dalam
beberapa tahapan proses kebijaksanaan. Golongan teknisi dalam melaksanakan
fugasnya boleh jadi memiliki kebebasan, namun kebebasan ini sebatas pada lingkup
pekerjaan dan keahliannya. Biasanya mereka beke{a di proyet-proyek yang
membufuhkan keatrliannya, namun apa yang harus mereka kerjakan biasanya
ditetapkan oleh pihak lain. Peran yang mereka mainkan dalam hubungan ini ialah
sebagai seorang spesialis atau ahli yang dibutuhkan tenaganya untuk menangani
tugas-tugas tertentu.
Nilai_nilai yang mereka yakini adalah nilai-nilai yang berkaitan erat dengan
latar belakang keahlian profesional mereka, misalnya sebagai insinyur elektro,
ahli informatika dan ilmu komputer, ahli fisika, ahli statistika dan lain
sebagainya. Tujuan yang ingin dicapai biasanya ditetapkan oleh pihak lain,
mungkin oleh salah satu di antara golongan aktor yang telah kita sebutkan di
atas, atau boleh jadi gabungan dari golongan-golongan aktor tersebu. Gaya kerja
dari golongan teknisi ini agak berlainan jika dibandingkan dengan golongan
rasionalis (yang cenderung bersifat komprehensif). Golongan teknisi umumya
menunjukkan rasa antusiasrne dan rasa percaya diri yang tinggi apabila mereka
diminta untuk bekerja dalam batas-batas pendidikan dan keahliannya, namun
cenderung enggan untuk melakukan pertimbangan-pertimbangan yang amat luas
melampaui batas-batas keahliannya tersebut.
Golongan inkrementalis.
Golongan aktor inkrementalis ini dapat kita identikkan dengan para politisi.
para politisi, sebagaimana kita ketahui, cenderung memiliki sikap kritis namun
acapkali tidak sabaran terhadap gaya kerja para perencana dan teknisi, walaupun
mereka sebenarnya amat tergantung pada apa yang dikerjakan oleh para perencana
dan para teknisi. Golongan inkrementalis pada umumnya meragukan bahwa sifat
yang komprehensif dan serba rasional itu merupakan sesuatu yang mungkin dalam
dunia yang amat penuh dengan ketidaksempurnaan ini.
Golongan inkrementalis memandang tahap-tahap perkembangan kebijaksanaan dan
implementasinya sebagai suatu rangkaian proses penyesuaian yang terus menerus
terhadap hasil akhir (yang berjangka dekat maupun yang berjangka panjang) dari
suatu tindakan. Bagi golongan inkrementalis, informasi dan pengetahuan yang
kita miliki tidak akan pemah mencukupi untuk menghasilkan suatu program
kebijaksanaan yang lengkap. Oleh sebab itu pada umumnya mereka sudah cukup puas
dengan melakukan perubahan-perubahan kecil. Nilai-nilai yang terkait dengan
metode pendekatan ini ialah hal-hal yang berhubungan dengan masa lampau atau
hal-hal yang berhubungan dengan terpeliharutya status quo — kestabilan dari
sistem dan terpeliharanya status quo.
Kebijaksanaan apapun bagr golongan inkrementaris akan cenderung dilihat sebagai
suatu perubahan yang terjadi secara sedikit demi sedikit (gradual changes).
Dalam hubungan ini rujuan kebijaksanaan dianggap sebagai konsekuensi dari
adanya tuntutan-tuntutan, baik karena didorong kebutuhan untuk melakukan
sesuatu yang baru atau karena kebutuhan untuk menyesuaikan dengan apa yang
sudah dikembangkan dalam teori. Gaya kerja golongan inkrementalis ini dapat
dikategorikan sebagai seseorang yang mampu melakukan tawar-menawar atau
bargaining yakni dengan secara teratur mendengarkan tuntutan, menguji seberapa
jauh intensitas tuntutan tersebut dan menawarkan kompromi.
Golongan Reformis (Pembaharu).
Seperti halnya golongan inkrementalis, golongan aktor reformis pada dasamya
juga mengakui
akan terbatasnya informasi dan pengetahuan yang dibutuhkan dalam proses
kebijaksanaan, sekalipun berbeda dalam cara menarik kesimpulan. Golongan
inkrementalis berpendirian bahwa keterbatasan informasi dan pengetahuan itulah
yang mendikte gerak dan langkah dalam proses pembuatan kebijaksanaan. Dalam
kaitan ini Braybrooke dan Lindblom mengatakan, bahwa hanyalah
kebijaksanaan-kebij aksanaan yang sebelumnya telah dikenal, dan yang
akibat-akibatnya menimbulkan perubahan kecil pada apa yang sudah ada yang akan
dipertimbangkan pendekatan seperti ini bagi golongan reformis (yang notabene
menghendaki perubahan sosial), dianggap terlampau konservatif.
Golongan reformis ini sependapat dengan pandangan David Easton yang
menyebutkan bahwa kita harus menerima sebagai kebenaran akan perlunya
mengarahkan diri kita langsung pada persoalan-persoalan yang berlangsung hari
ini untuk memperoleh jawaban singkat dan cepat dengan memanfaatkan perangkat
analisis serta teori-teori mutakhir yang tersedia, betapapun tidak memadainya
perangkat analisis dan teori-teori tersebut. Dengan dcmikian, tekanan
perhatiannya adalah pada tindakan sekarang, karena urgensi dari persoalan yang
dihadapi.
Pendekatan semacam itu umumnya ditempuh oleh para Lobbyist (orang-orang yang
berperan selaku juru kasak-kasuk/Frerunding di parlemen). Nilai-nilai yang
mereka junjung tinggi ialah yang berkaitan dengan upaya untuk melakukan
perubahan sosial, kadang kala demi perubatran sosial ini sendiri, namun lebih
sering bersangkut paut dengan Lepentingan kelompok-kelompok tertentu. Tujuan
kebijaksanaan biasanya ditetapkan dalam lingkungan kelompok-kelompok tersebut,
melalui berbagai macam proses, termasuk di antanmya atas dasar keyakinan
pribadi bahwa hasil akhir dari tindakan pemerintah sekarang telah melenceng
arahnya atau batrkan gagal. Karena itu gaya kerja golongan aktor reformis ini
umumnya sangat radikal, kerapkali disertai dengan tindakan-tindkan demonstrasi
dan konfrontasi dengan pihak pemerintah.
Melihat perbedaan-perbedaan perilaku keempat golongan aktor yang terlibat
datam proses kebijaksanaan tersebut, tidak heran jika masing-masing golongan
aktor itu saling mengecam. Golongan rasionalis sering aitecam/dikritik tidak
memahami kodrat manusia. Braybrooke dan Lindblom, sebagai penganjur teori
inkrementalis, malahan menyatakan bahwa lolongan aktor rasionalis itu terlalu
idealistis sehingga tidak cocok dengan keterbatasan kemampuan manusia dalam
mengatasi masalah.
Sementara itu golongan aktor teknisi kerapkali dituduh memiliki pandangan
yang picik karena hanya peduli terhadap masalah-masalah sempit sebatas pada
bidang keahliannya semata dan kurang peduli terhadap masalah-masalah publik
yang luas, yang kemungkinan melampaui bidang keahlian yang dikuasainya.
Golongan aktor inkrementalis di lain pihak, seringkali dianggap memiliki sikap
konservatif sebab mereka tidak terlalu tanggap terhadap perubahan sosial atau
bentuk-bentuk inovdsi yang lain. Akhirnya golongan aktor reformis seringkali
dituduh mau menangnya sendiri, tidak sabaran, tidak kenal kompromi dan karena
itu tidak realistis.
KESIMPULAN
1. Definisi Pembuatan Kebijaksanaan Negara sebagai keseluruhan proses yang
menyangkut pengartikulasian dan pendefinisiaan masalah, perumusan
kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dalam bentuk tuntutan-tuntutan
politik, penyaluran tuntutan-tuntutan tersebut ke dalam sistem politik,
pengupayaan pemberian sanksi-sanksi atau legitimasi dari arah tindakan yang
dipilih, pengesahan dan pelaksanaan /implementasi, monitoring dan peninjauan
kembali (umpan balik).
2. Terdapadat beberapa teori pengambilan keputusan yang dianggap paling sering
dibicarakan dalam pelbagai kepustakaan kebijakan negara diantaranya ; Teori
Rasional Komprehensif, Teori Inkremental, Teori Pengamatan Terpadu (Mixed
Scanning Theory).
3. Menurut konsepsi Anderson, nilai-nilai yang kemungkinan menjadi pedoman
perilaku para pembuat keputusan itu dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat)
kategori, yaitu : Nilai-nilai Politik, Nilai-nilai organisasi, Nilai-nitai
Pribadi, Nilai-nilai Kebijaksanaan, Nilai-nilai Ideologis.
4. Dalam proses kebijaksanaan, menurut Charles O. Jones, sedikitnya ada 4
(empat) golongan atau tipe aktor (pelaku) yang terlibat, yakni : golongan
rasionalis, golongan teknisi, golongan inkrementalis, dan golongan reformis
3.
KEBIJAKAN UMUM
Kebijakan umum
atau publik adalah
keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau
bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas publik. Sebagai
keputusan yang mengikat publik maka kebijakan publik haruslah dibuat oleh
otoritas politik, yakni mereka yang menerima mandat dari publik atau orang
banyak, umumnya melalui suatu proses pemilihan untuk bertindak atas nama rakyat
banyak. Selanjutnya, kebijakan publik akan dilaksanakan oleh administrasi
negara yang di jalankan oleh birokrasi pemerintah. Fokus utama kebijakan publik
dalam negara modern adalah pelayanan publik, yang merupakan segala sesuatu yang
bisa dilakukan oleh negara untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas
kehidupan orang banyak. Menyeimbangkan peran negara yang mempunyai kewajiban
menyediakan pelayan publik dengan hak untuk menarik pajak dan retribusi; dan
pada sisi lain menyeimbangkan berbagai kelompok dalam masyarakat dengan
berbagai kepentingan serta mencapai amanat konstitusi.
Setiap sistem politik pada dasarnya memproduksi kebijakan publik. Dan sistem
politik itu bisa berupa negara, propinsi, kabupaten/kota, desa, bahkan RT dan
RW. "Institusi" seperti ASEN, EU, PBB dan WTO adalah sistem politik
juga, yang dapat disebut supra-negara.
Kebijakan publik tidak selalu dilakukan oleh birokrasi (saja), melainkan dapat
pula dilaksanakan oleh perusahaan swasta, LSM ataupun masyarakat langsung.
Misalnya, suatu sistem politik dapat memutuskan untuk memberantas nyamuk.
Sistem politik itu dapat memerintah --tentu saja disertai kompensasi-- sebuah
perusahaan swasta untuk melakukan penyemprotan nyamuk.
Terminologi
Terminologi kebijakan publik menunjuk pada serangkaian peralatan pelaksanaan
yang lebih luas dari peraturan perundang-undangan, mencakup juga aspek anggaran
dan struktur pelaksana. Siklus kebijakan publik sendiri bisa dikaitkan dengan
pembuatan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, dan evaluasi kebijakan. Bagaimana
keterlibatan publik dalam setiap tahapan kebijakan bisa menjadi ukuran tentang
tingkat kepatuhan negara kepada amanat rakyat yang berdaulat atasnya. Dapatkah
publik mengetahui apa yang menjadi agenda kebijakan, yakni serangkaian
persoalan yang ingin diselesaikan dan prioritasnya, dapatkah publik memberi
masukan yang berpengaruh terhadap isi kebijakan publik yang akan dilahirkan.
Begitu juga pada tahap pelaksanaan, dapatkah publik mengawasi penyimpangan
pelaksanaan, juga apakah tersedia mekanisme kontrol publik, yakni proses yang
memungkinkan keberatan publik atas suatu kebijakan dibicarakan dan berpengaruh
secara signifikan. Kebijakan publik menunjuk pada keinginan penguasa atau
pemerintah yang idealnya dalam masyarakat demokratis merupakan cerminan
pendapat umum (opini publik). Untuk mewujudkan keinginan tersebut dan
menjadikan kebijakan tersebut efektif, maka diperlukan sejumlah hal: pertama,
adanya perangkat hukum berupa peraturan perundang-undangan sehingga dapat
diketahui publik apa yang telah diputuskan; kedua, kebijakan ini juga harus
jelas struktur pelaksana dan pembiayaannya; ketiga, diperlukan adanya kontrol
publik, yakni mekanisme yang memungkinkan publik mengetahui apakah kebijakan
ini dalam pelaksanaannya mengalami penyimpangan atau tidak. Dalam masyarakat
autoriter kebijakan publik adalah keinginan penguasa semata, sehingga
penjabaran di atas tidak berjalan. Tetapi dalam masyarakat demokratis, yang
kerap menjadi persoalan adalah bagaimana menyerap opini publik dan membangun
suatu kebijakan yang mendapat dukungan publik. Kemampuan para pemimpin politik
untuk berkomunikasi dengan masyarakat untuk menampung keinginan mereka adalah
satu hal, tetapi sama pentingnya adalah kemampuan para pemimpin untuk
menjelaskan pada masyarakat kenapa suatu keinginan tidak bisa dipenuhi. Adalah
naif untuk mengharapkan bahwa ada pemerintahan yang bisa memuaskan seluruh
masyarakat setiap saat, tetapi adalah otoriter suatu pemerintahan yang tidak
memperhatikan dengan sungguh-sungguh aspirasi dan berusaha mengkomunikasikan
kebijakan yang berjalan maupun yang akan dijalankannya. dalam pendekatan yang
lain kebijakan publik dapat dipahami dengan cara memilah dua konsepsi besarnya
yakni kebijakan dan publik. terminologi kebijakan dapat diartikan sebagai
pilihan tindakan diantara sejumlah alternatif yang tersedia. artinya kebijakan
merupakan hasil menimbang untuk selanjutnya memilih yang terbaik dari
pilihan-pilihan yang ada. dalam konteks makro hal ini kemudian diangkat dalam
porsi pengambilan keputusan. Charles Lindblom adalah akademisi yang menyatakan
bahwa kebijakan berkaitan erat dengan pengambilan keputusan. Karena pada
hakikatnya sama-sama memilih diantara opsi yang tersedia. Sedangkan terminologi
publik memperlihatkan keluasan yang luar biasa untuk didefinisikan. akan tetapi
dalam hal ini setidaknya kita bisa mengatakan bahwa publik berkaitan erat
dengan state, market dan civil society. merekalah yang kemudian menjadi aktor
dalam arena publik. sehingga publik dapat dipahami sebagai sebuah ruang dimensi
yang menampakan interaksi antar ketiga aktor tersebut.
Tahap-Tahap Kebijakan Publik
Kebijakan Publik secara keilmuan dapat dilaksanakan bertahap, yaitu:
1. identifikasi permasalahan
2. skala prioritas
3. rancangan kebijakan
4. pengesahan
5. pelaksanaan/implementasi
6. evaluasi / penilaian
Pelaksanaan Kebijakan Publik
Dalam pelaksanaannya, kebijakan publik ini harus diturunkan dalam serangkaian
petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang berlaku internal dalam birokrasi.
Sedangkan dari sisi masyarakat, yang penting adalah adanya suatu standar
pelayanan publik, yang menjabarkan pada masyarakat apa pelayanan yang menjadi
haknya, siapa yang bisa mendapatkannya, apa persyaratannnya, juga bagaimana
bentuk layanan itu. Hal ini akan mengikat pemerintah (negara) sebagai pemberi
layanan dan masyarakat sebagai penerima layanan. Fokus politik pada kebijakan
publik mendekatkan kajian politik pada administrasi negara, karena satuan analisisnya
adalah proses pengambilan keputusan sampai dengan evaluasi dan pengawasan
termasuk pelaksanaannya. Dengan mengambil fokus ini tidak menutup kemungkinan
untuk menjadikan kekuatan politik atau budaya politik sebagai variabel bebas
dalam upaya menjelaskan kebijakan publik tertentu sebagai variabel terikat.
4.
DISTRIBUSI KEKUASAAN
Para scholars ilmu politik telah menciptakan beberapa model
yang berbeda untuk menganalisis soal distribusi kekuasaan. Setidaknya ada
tigamodel yang ditawarkan para sarjana ilmu politik dalam memahaini
distribusikekuasaan (Andrain, 1992 : 154),
pertama
, model elite berkuasa.
Menurutmodel ini sumber kekuasaan terpusat pada sekelompok kecil orang saja.
Kedua
, model pularis, di mana kekuasan
mulai tersebar diantara beberapakelompok sosial masyarakat. Dan,
ketiga
, model kekuasaan popular atau populis,
yang mengemukakan bahwa sumber kekuasaan telah menyebar luasdi seluruh kalangan
warga negara.
A.Model – Model Distribusi
Kekuasaan
1.Model Elite berkuasa atau model Elite yang
memeirntah. Kosnepmengenai adanya elite yang
memeintah atau berkuasa telah tedapatdalma tulisan Vilfredo Pareto dalam
bukunya The Inind and Society;Gaetano Mosca dalam karyanya The Ruling
Class, juga dalam tulisanWright Inills, The
Power Elite. Mereka akan mengemukakan bahwadalam semua masyarakat (di manapun dan kapanpun) akan selaluterdapat
suatu kelompok kecil yang berkuasa atas mayoritas warga.Gaetano Mosca bahkan
hanya membagi kategori warga (dalamkonteks kekuasaan) ke dala dua kelompok
besar.
Pertama
, kelompok atau kelas yang memerintah (pemerintah),
yang teridir dari sedikit orang, melaksanakan
fungsi politik, memonopoli kekuasaan, danmenikmatinya. Dan kedua, klas yang diperintah, yang berjumlah banyak, dan berkecenderungan dimobilisasi
oleh penguasa dengancara-cara yang kurang lebih berdasar hukum dan juga
paksaan.2.Model Pluralis. Asumsi yang
terbangun dalam masyarakat yang relatif demokratis adalah setiap
individu menjadi satu anggota suatukelompok
atau lebih berdasar pada preferensinya atas kepentingan-kepentingan yang
melatar belakanginya.
Dalam konteks sini kelompok berfungsi sebagai
wadah perjuangan kepentingan para
anggota dan menjadi perantara antara paraanggotanya, sehingga yang
dimaksud dengan model elite yang berkuasa di sini ialah para kelompok yang
saling bersaing dan berdialektika sesama kelompok lain dalam mempengaruhi
keputusan-keputusan yang akan dibuat pemerintah deini terlaksananya
keinginandan kebutuhan kelompok.3.Model
kekuasaan popular. Asumsi yang mendasari model populis ataukerakyatan
adalah demokrasi. Di mana pada sistem politik demokrasi(liberal) yang dibangun adalah sikap individualisme. Individualismesendiri
diasumsikan sebagai: (1) setiap warga negara yang telahdewasa mempunyai hak meinilih dalam peinilihan umum; (2) setiapwarga
negara yang sudah dewasa yang mempunyai ininat yang besar untuk aktif
dalam proses politik; serta (3 ) setiap warga negara yangdewasa
mempunyai kemampuan unutk mengadakan penilaian tehadap proses politik
karena mereka memiliki informasi yang memadai.Oleh
karena kewenangan tidak terbagi aecara merata, makakewenangan dan atau
kekuasaan (agar tidak berperilaku otoirter atau totaliter)harus dialihkan. Alasan lain mengapa kewenangan
dan/atau kekuasaan perludilaihkan adalah, bahwa semakin lama seseorang memegang
suatu jabatan.Semakin orang tersebut
menganggap dan memperlakukan jabatan yangdipegangnya sebagai milik pribadi. Akibatnya. tidak hanya semakin
tidak kreatif dia dalam melaksanakan fmtgsi dan perannya dalam bertugas
tetapi jugs semakin cenderung
mungkin dalam menyalahgunakanjabatan untuk kepentingan pribadi atau
kelompoknya. Karena itu, peralthan kewenangan daseseorang atau kelompok orang
kepada orang atau kelompok lain merupakansuatu keharusan. Menurut Paul Coun
(dalam Surbakti, 1992: 89) secara umumterdapat
light cars peralihan kewenangan. yakni: pertama, turun menurun,yang dimaksud
derngan peralihan kewenangan secara turun menurun ialah jabatan atau kewenangan yang dialihkan
kepada ketuninan atau keluarga pemegang
jabatan terdahulu. Hal ini dapat dilihat dalam sistem politik yang utonarid dan / atau otokrasi tradisional, kedua
peralihan kewenangan dengancaraptharcyalaiiperalihankewenangan melalui kontrak
sosial yang berbentuk pemulihan umum baik yang dilakukan
secara langeung ataupun melalui badan perwakilan
rakyat. Hal ml dlpraktikan dalam sistem politik yang demokratis.Dan ketiga,
peralihan kewenangan melalui paksaan peralihan kewenangansecara paksaan ialah jabatan atau kewenangan
terpalcsa dialihkan kepadaorang atau kelompok lain dengan tidak menurut
prosedur yang sudabdisepakati tetapi melalui
tindak inkonstitusional-kekerasan, seperti paksaantak berdarah revolusi,
dan/ atau kudeta.
B.Sirkulasi Elit Kekuasaan
Cara pandang lain untuk melihat
sirkulasi elite adalah atau yang dapatterjadi, sebagai berikut :a)Individu – individu dari strata bawah berhasil memasuki ruang elite
yangsudah ada; b)Aktor individu
atau kelompok yang berasal dari strata bawah membuatsuatu kelompok elite
baru yang diperhitungkan dan terlibat dalam perbutan kekuasaan dengan elit
yang sudah ada.Terdapat tiga bentuk
pertukaran atau sirkulasi elite ang berlangsung dalammekanismeexchange:
1.Pertukaran atau sirkulasi elite antara pihak
pemerintah dengankelompok oposisi yang berasal dari dalam kelas – kelas
politik ( political class).
2.Pertukaran atau sirkulasi elite antara yang
tergabung dalam kelompok political class
dengan kelompok yang pernah berkuasa atau
tengahtengah berkuasa.3.Pertukaran atau sirkulasi elite antara mereka yang
berkuasa (therulling class )
dengan mereka yang dikuasai (the ruled
class).
5. KEKUASAAN NEGARA
Negara
adalah organisasi kekuasaan terbesar yang pernah diciptakan oleh peradaban
manusia. Kekuasaan dahsyat yang dimiliki oleh Negara apalagi jika berpusat pada
satu pemegang kekuasaan pernah membuat seorang Fir’aun lupa diri sehingga
berkata “Ana Rabbakumul a’la”. Aku adalah Tuhan kalian yang tertinggi.
Meskipun
Negara dibentuk pada hakikatnya untuk kesejahteraan dan kebaikan warga negara.
Akan tetapi bagaimanapun Negara adalah abstrak, in konkreto-nya ada pada
pemegang jabatan Negara yang berarti salah satu dari warga Negara juga. Dan
warga Negara yang diberi jabatan Negara ini pada dasarnya adalah tetap manusia
yang berarti sama dengan warga Negara yang lain yang punya kehendak yang belum
tentu selaras dengan keinginan warga Negara yang lain. Kelebihannya dibanding
warga Negara yang lain, sang pemegang jabatan memiliki kekuasaan Negara. Oleh karenanya
Kaisar Perancis, Raja Louis XIV pernah berkata “L’etat c’est Moi”.
Negara adalah saya.
Tentang
karakter kekuasaan yang berada pada seseorang maka ucapan Lord Acton penting
dikemukakan: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”.
Atas hal itu Montesquieu memperingatkan : “There would be an end of
everything, were the same man or the same body, whether of the nobles or of the
people, to exercise those three powers, that of enacting laws, that of
executing the public resolutions, and of trying the causes of individuals”.
Oleh karena
kekuasaan Negara yang berpusat pada satu tangan cenderung sewenang-wenang maka
kekuasaan tidak boleh berpusat pada satu orang. Harus ada pemisahan kekuasaan.
Teori ini kemudian menjadi arus utama penyelenggaraan kekuasaan Negara meskipun
dengan penafsiran yang terus bergerak sesuai situasi dan kondisi negara-negara
di dunia. Meskipun perkembangan zaman tidak hanya mengenal tiga lembaga
kekuasaan murni sebagaimana Teori Montesquieu, kekuasaan Kekuasaan utama Negara
pada dasarnya tetap dibagi ke dalam 3 kekuasaan Utama yaitu Eksekutif,
Legislatif dan Judikatif.
Kekuasaan
Judikatif yang di Indonesia disebut kekuasaan kehakiman pada dasarnya memiliki
2 fungsi utama. Pertama, Menyelesaikan sengketa dalam Negara baik itu
antar warga Negara ataupun antara warga Negara dengan Negara. Kedua,
mengimbangi kekuasaaan Eksekutif agar tidak berlaku sewenang-wenang;
Kembali
kepada kenyataan bahwa Negara adalah abstrak tanpa pemegang jabatan Negara maka
demikian juga dengan yang melakukan kekuasaan kehakiman sebagai salah satu
kekuasaan Negara. Kekuasaan Kehakiman yang menurut ketentuan Pasal 24 UUD 1945
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi pada hakikatnya adalah lembaga yang abstrak jika
tidak ada warga Negara yang secara nyata melakukan kekuasaan tersebut. Pelaku
jabatan Negara dalam kerangka kekuasaan kehakiman inilah yang kita kenal
sebagai Hakim. Oleh karenanya in konkreto Kekuasaan Kehakiman
ada pada diri para Hakim. Hakim adalah Pelaku Nyata Kekuasaan Kehakiman. Tanpa
Hakim maka seluruh Badan Peradilan hanyalah angan-angan belaka. keberadaan
Hakim adalah penjelmaan dari sebagian wujud Negara itu sendiri. Oleh karenanya in
konkreto Kekuasaan Kehakiman ada pada diri para Hakim. Hakim adalah Pelaku
Nyata Kekuasaan Kehakiman. Tanpa Hakim maka seluruh Badan Peradilan hanyalah
angan-angan belaka. keberadaan Hakim adalah penjelmaan dari sebagian wujud
Negara itu sendiri.