Selasa, 09 Oktober 2012

fenomena tawuran


Menyikapi Fenomena Tawuran Pelajar 

kita tentu tau akan pemberitaan disejumlah media tentang tawuran pelajar yang seharusnya tidak pantas terjadi
fenomena tawuran ini sudah cukup lama morat-marit di negara Indonesia. Mulai dari tawuran antar pelajar, hingga tawuran antar warga. Seluruhnya menurut saya sudah sering sekali terjadi di negara ini.
saya tidak ingin menyalahkan berbagai pihak. saya hanya hendak untuk membongkar, bagaimana fenomena ini bisa sering terjadi di dalam kehidupan kita. Untuk kemudian menjadi dasar pemikiran bagi seluruh elemen penting dari negara agar dapat menindaklanjuti secara serius.  Tulisan ini saya buat berdasarkan pengalaman pribadi dan pengamatan mengenai tawuran.
Banyak analisa dapat menyimpulkan tentang peristiwa tawuran baik itu pelajar dan pemuda seperti yang kita lihat serta dengar di televisi, dengar di radio dan baca di koran. Saya hanya ingin agar pihak-pihak tertentu dapat menjadikan catatan kejadian-kejadian kekerasan selama satu semester tahun 2011. Tentu dengan harapan dalam kurun waktu tertentu hal tersebut bukan hanya menurun kuantitasnya, tetapi juga dapat berubah dalam bentuk lain.
Kita dapat bercermin pada peristiwa yang terjadi di London, Inggris. Kerusuhan tengah kota yang meluas dan berpengaruh keseluruh lapisan masyarakat dan tentunya juga memunculkan dampak. Misalnya, apa yang terjadi di wilayah Tottenham dan sekitarnya di kota London bisa mengakibatkan para pelaku bisnis terancam gulung tikar.

Di Jakarta beberapa tawuran yang sempat membuat jalan dan ketentraman masyarakat terganggu dalam beberapa hari. Sebut saja tawuran depan pasar Rumput, warga Johar Baru,warga Kramat Sentiong, warga Tanah Tinggi, penyerangan aparat kepolisian di Sulawesi serta NTB dan tawuran pelajar seantero Jabodetabek. Semuanya menyisakan perasaan takut, tidak nyaman, kesedihan dan derita.

Lalu pelajaran apa yang bisa diambil? Kalau dulu pemuda pelajar masih belia sudah angkat senjata melawan penjajah dan atau sekolah sungguh-sungguh agar dapat membantu negara. Sekarang sangat jauh sekali kualitas itu secara keseluruhan dan tentunya meluas hampir seluruh Indonesia. Ah, kita semua dengan posisi masing-masing sudah saatnya berkontribusi pemikiran agar formula baru untuk pendidikan yang lebih baik bagi pemuda dan pelajar. Harus diakui upaya untuk membekali pemuda serta pelajar dengan motivasi pada kegiatan pengetahuan, olah raga, keagamaan dan keahlian masih sangat minim. Perkenalan dengan Tawuran
Saya mengenal istilah tawuran ini sejak saya duduk di bangku Sekolah Teknologi Menengah (istilah lainnya STM). Itu sudah menjadi trend yang ada sebelum di mana saya duduk di bangku STM, tepatnya pada tahun 1997. Tawuran sudah menjadi trend yang sangat kuat dan nampaknya sudah menjadi bahasa yang biasa bagi kalangan siswa SMA/STM pada saat itu.
Menurut kakak kelas yang ada pada saat itu, musuh sekolah saya ada sekolah A, B dan C. Lalu, saya bertanya kenapa bisa demikian? Kakak kelas saya menjawab, “itu merupakan dendam yang diwarisi sejak angkatan sebelumnya.” “Dendam apa itu?” “Dendam di mana ada pelecehan yang dilakukan oleh sebuah sekolah ternama dan itu adalah musuh kita,” jawab kakak kelas itu.
Akhirnya, dikarenakan oleh stigma yang diberikan oleh kakak kelas saya itu, maka saya pun terhanyut di dalam kebudayaan dan tradisi yang disebut tawuran itu. Tiada henti saya selalu tidak terlepas dari aktifitas tersebut. Berangkat sekolah, tawuran dan pulang sekolah pun tawuran. Bahkan ada suatu peristiwa unik yang pernah saya alami mengenai tawuran ini. Saya pernah menghabiskan satu harian untuk berkelahi dengan sekolah lain. Satu harian full, kami berkelahi dengan sekolah yang berbeda.
Saya baru berhenti meninggalkan tradisi ini setelah mengalami dua peristiwa. Peristiwa pertama, tewasnya teman saya dalam sebuah peristiwa yang mengenaskan. Kedua, di mana saya terkena sabetan benda tajam secara membabi buta di dalam sebuah bis. Kalau di tahun saya dikenal dengan istilah dibajak.
Melalui kedua peristiwa itulah saya memberhentikan aktifitas tradisi tawuran. Karena saya berpikir, bahwa jika ini diteruskan, maka tidak menutup kemungkinan bahwa saya pun akan mengalami nasib yang sama seperti yang dialami oleh teman saya itu.

Usaha Sekolah dalam Memutus Tradisi Tawuran
Pada saat maraknya tawuran, sekolah tidak tinggal diam. Beragam usaha coba ditempuh untuk memutus tradisi ini. Tetapi nampaknya semua sia-sia, sehingga menurut salah seorang anggota kepolisian yang pada saat itu menangkap kami menyatakan bahwa “sekolah ini sudah menduduki peringkat ketiga dalam hal tawuran.” Namanya masih remaja, kami justru senang mendengar hal tersebut.

Tetapi nyatanya, sekolah tidak menyukai itu. Usaha yang coba dilakukan oleh sekolah pertama-tama ialah menunggu siswa yang akan pulang. Beberapa orang guru ditugaskan oleh sekolah untuk menunggu siswa yang akan pulang. Mereka diberikan tugas menunggu di halte-halte bis yang sering digunakan para siswa memberhentikan bis. Lagi-lagi, usaha ini gagal. Meski ditunggu oleh beberapa guru, tawuran tetap terjadi.
Ada lagi usaha yang coba dilakukan oleh sekolah. Usaha itu menunggu siswa yang sedang menunggu angkutan menuju sekolah. Hasilnya, sama saja. Tawuran masih sering terjadi.
Pada akhirnya, sekolah pun sepertinya kehabisan akal untuk memutus rantai dari tawuran ini. Sekolah tidak bisa melakukan apa-apa. Jika kita kembali ke sekolah pun yang masih dipikirkan adalah nilai, nilai dan nilai. Sepulang sekolah, masih juga terjadi tawuran.

Tidak ada Bedanya dengan Masa Lalu

Menurut saya pribadi, fenomena tawuran yang terjadi pada masa kini memiliki essensi yang sama dengan apa yang saya rasakan. Pertama-tama, tawuran itu terjadi dikarenakan dendam. Dendam ini sebenarnya hanya dimiliki oleh beberapa oknum yang ada di pada saat itu. Tetapi ketika dendam itu diceritakan, maka essensinya menjadi berubah. Essensinya menjadi sebuah tradisi.

Ketika tradisi ini berkembang, maka dendam yang ada pada saat itu menjadi stereotype. Stereotype yang menjadi acuan dan trend. “Katro”, adalah cap untuk siswa yang tidak mengikuti tradisi ini. Sehingga yang namanya remaja, maka akan terpicu untuk menunjukkan keberaniannya. Itu menjadi sebuah kebanggan bagi remaja yang mengikuti tradisi tawuran.

Selain dendam, ada pula latar belakang yang sepertinya membuat tawuran ini terus menerus bercokol. Latar belakang itu adalah trend. Melakukan tawuran menjadi sebuah kebanggan bagi remaja. Jika sedang berkumpul, maka jika tidak ada cerita mengenai tawuran, maka itu dibilang “katro”.
Tawuran=Dendam
Setelah mendalami lebih lanjut dari pengalaman pribadi tersebut, saya dapat mengatakan bahwa tawuran dapat terjadi bersumber pada dendam. Dendam itu entah dikarenakan oleh sengketa percintaan atau pun mengenai saling ejek. Dari itulah saya duga bahwa tawuran itu terjadi.
Tidak berhenti sampai di sana saja. Ternyata meski tawuran itu berpangkal pada dendam, namun lebih lanjut dendam itu bermutasi menjadi sebuah trend yang kuat di dalam kalangan remaja. Itu pun kian dilestarikan dengan stigma bahwa “jika tidak mengikuti tawuran, maka anak itu dikatakan katro”.
Dendam dihapus dengan Maaf
Dari tawuran, saya mencoba berpikir dan memberikan sedikit solusi dalam mengatasi permasalahan mengenai tawuran. Pertama, ialah menghapus dendam itu melalui pertemuan antar alumni yang berlangsung di salah satu tempat yang ditentukan oleh kedua belah pihak. Tidak hanya sampai di situ, keinginan ini harus lahir dari sebuah keprihatinan para alumni.

Untuk menjalankan itu dibutuhkan sebuah kerjasama penting dari pihak sekolah. Peran serta sekolah merupakan peran yang essential. Karena sekolah merupakan lembaga di mana dendam itu ada dan menyebar. Sehingga dari itu dapat lahir sebuah pandangan baru yang mungkin dapat melahirkan perdamaian.
Ini penting dilakukan karena jika hanya melakukan berupa pelarangan, pengawasan dan penambahan, akan kurang menampilkan hasil yang signifikan. Pelarangan akan melahirkan kekuatan untuk semakin melestarikan. Pengawasan akan tetap membuat tawuran menjadi sebuah trend dan penambahan jam sekolah pun membuat saya pesimis terhadap hasil yang akan dilahirkannya.
Yang saya percayai adalah kedua belah pihak bertemu, yakni oknum yang pernah mengalami secara langsung di mana dendam itu dilahirkan. Kedua, dendam itu diceritakan kembali untuk melihat titik terang dari sebuah permasalahan. Kemudian dari titik terang itu mencari solusi agar tercapainya perdamaian. Kemudian kedua belah pihak memberikan maaf dan menyatakan kesalahan masing-masing serta kedua belah pihak harus membuat surat pernyataan dan memasukannya kedalam tata tertib sekolah, jika melanggar atau terjadi tawuran kembali maka pelajar tersebut akan diproses secara hukum.



sumber(http://jasapembuatanweb.co.id)