Kamis, 28 Juni 2012

Politik Negara, Pengambilan Keputusan, Kebijakan Umum,Distribusi Kekuasaan, Kekuasaan Negara.

1. POLITIK NEGARA
Budaya Politik Negara Maju dan Berkembang
Budaya politik Negara Berkembang
Budaya polik Di Negara berkembang menggunakan budaya  politik parochial Partisipan karena pada tatanan ini terlihat Negara – negara tersebut sedang giat Melakukan pembangunan kebudayaan. Norma – norma yang biasa nya di perkenalkan bersifat partisipatif ,yang berusaha meraih keselarasa dan keseimbangan sehingga teentu mereka lebih banyak menuntut kultur partisipan
Persoalan nya ialah bagaimana dalam kondisi ,masyarakat yang sedang berkembang orientasi terhadap masukan dan keluaran secara simultan pada kondisi ini system politik biasa nya diliputi oeh transformasi , parokial satu pihak cendrung kearah otoritarisme,sedangkan  pihak lain kearah demokrasi struktur untukk bersandar tidak dapat terdiri atas kepentingan masyarakat , bahkan infrastrukturnya  tidak berqakar pada warga Negara yang kompeten dan bertanggung jawab.

Budaya Politik Di Negara Berkembang (Thailand)
Berbicara mengenai Thailand, masalah kudeta militer dan rezim junta militer sangatlah kental dalam perpolitikan di Thailand. Tak heran jika proses demokratisasi disana mengalami hambatan dan tantangan menuju sistem demokrasi yang sesungguhnya. Tentunya dinamika ini tak lepas juga dari budaya politik masyarakat Thai yang masih bersandar dan berpegang pada nilai-nilai tradisional, sementara dalam demokrasi membutuhkan nilai-nilai kontemporer yang mengacu pada budaya Barat. Hal inilah yang kemudian berimplikasi pada pembentukan state-building dan konstitusi yang mengatur distribusi kekuasaan politik Thailand dimana selalu diwarnai oleh perebutan dan persaingan antara elit militer, sipil, dan cendekiawan.
Nilai paternalisme dan patriakal dalam budaya Thai masih melekat erat, dimana mereka menganggap raja sebagai “father” dalam mengarahkan masyarakat ke arah yang lebih baik. Selain itu, raja dianggap sebagai perwakilan Wisnu, Siwa, dan Budhisattava yang merupakan titisan dewa. Sehingga tak heran bila masyarakat Thai lebih mencintai raja daripada politik. Segala tindak raja merupakan pengejahwantahan dewa yang harus dipatuhi. Hal ini kemudian bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi yang dilandaskan pada nilai-nilai liberal. Nilai-nilai tersebut tidak hanya bertentangan tapi nilai tradisional tersebut teatap dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Thai. Akibatnya, budaya politik dan derajat partisipasi masyarakat Thailand sangat pasif. Padahal untuk membangun sistem demokrasi diperlukan budaya dan derajat partisipasi politik yang signifikan, yaitu sebuah budaya politik partisipan dan subjek (Almond). Implikasinya adalah, dengan kepasifan politik masyarakat Thailand, maka perebutan kekuasaan antara militer, sipil, dan cendekiawan selalu terjadi dan ini menjadi salah satu problem lain dalam demokrasi di Thailand. Elit militer merasa dirinya memiliki kapabilitas dan kapasitas dalam menjalakan pemerintahan dan negara karena latarbelakang pendidikan akademi militer dapat membuat mereka berpikir strategis dan taktis yang memang diperlukan oleh pertahanan dan keamanan negara. Selain itu, secara historis mereka menganggap dirinya berjasa atas pertahanan dan keamanan Thailand dari kekuatan eksternal baik pada zaman monarki maupun saat revolusi. Di pihak lain, sipil menganggap bahwa masalah politik merupakan wilayah sipil yang harus lepas dari campur tangan militer. Mereka cenderung mendukung profesionalisme militer daripada fungsi militer di ranah politik. Anggapan mereka bahwa campur tangan militer dapat menghambat proses politik dan demokrasi. Menurut Sundhaussen (1999) bahwa kebiasaan militer cenderung anti-demokrasi. Lanjutnya bahwa persepsi tentang lawan dan bagaimana berurusan dengan mereka sering kali menggiring rezim militer memperlakukan lawan politik lebih keras dari sepatutnya sehingga merintangi penyelesaian politik. Sementara, pihak cendekiawan menganggap bahwa dalam menjalankan pemerintahan dan negara diperlukan sebuah kerangka berpikir dan ilmu mengenai pemerintahan dan politik dimana hanya kaum cendekiawan itulah yang bisa melakukan. Dengan pondasi pengetahuan dan ilmu yang yang mereka miliki tersebut mereka menganggap bisa menjalankan dan selalu menemukan penyelesaian masalah dalam menghadapi krisis.
Perselisihan dan persaingan politik tersebut pada hakikatnya tak membawa masyarakat Thailand pada kondisi riot seperti di Filipina ataupun Myanmar. Karena peran Raja tetap eksis sebagai simbol zaman keemasan Thailand dan sebagai pengayom masyarakat Thai. Setidaknya pandangan tersebut menjadikan masyarakat Thai sebagai masyarakat yang “tentram” tanpa ada pertumpahan darah sebagai akibat persaingan kaum elit tersebut.
Secara garis besar, ada beberapa karakteristik budaya politik Thailand, yaitu:
  1. Otoritarianisme => budaya politik yang ada di Thailand cenderung mengarah pada otoritarianisme dimana kepemimpinan dipandang sebagai representasi dari dewa sehingga pelaksanaan perintah nyaris tanpa celah untuk dikritisi. Terlebih ini didukung dengan budaya patriakal dan paternalistik yang cenderung mengagungkan pemimpin sebagai “father” dalam keluarga yang punya wewenang dan kekuasaan atas keluarganya.
  2. Patron Klien => kaum elit lebih mengedepankan kepentingan kelompoknya sendiri dari pada kepentingan untuk melayani rakyat. Sehingga karakter elit lebih pada “tuan yang diagungkan” dari pada “servant of people”. Hal ini berdampak pada hubungan antar elit atas kelompoknya lebih kuat daripada dengan rakyat.
  3. Personalisme => hubungan personal lebih penting dalam politik Thailand. Begitu pula fungsi seorang tokoh akan sangat menentukan garis kebijakan politik karena orang Thailand yang pragmatis lebih melihat figur tokoh daripda ideologi ataupun latarbelakang partai.
  4. Hirarkis => orang Thailand lebih mementingkan tingkatan status daripada pencapaian seseorang. Senioritas, strata sosial, kekayaan, menjadi faktor utama daripada prestasi seseorang. Hal ini kemudian yang mengarahkan masyarakat Thailand pada masyarakat yang unequal.
  5. Tradisionalisme => masyarakat Thailand masih memegang kuat kepercayaan mistis dan tahayul serta kepercayaan pada nenek moyang. Hal ini membuat irasionalitas menjadi hal yang umum terjadi dalam menghadapi kehidupan (sifat konservatif).
  6. Pasivitas => sifat tradisional dan percaya pada adanya hirarki serta takdir membuat masyarakat Thailand menjadi pasif dan tidak memiliki interest terhadap proses dan partisipasi politik.
  7. Cinta Damai => hal ini tak lepas dari pengaruh agama Budha yang dianut orang Thailand yang mengajarkan ajara-ajaran cinta dan damai. Sehingga mereka lebih memilih untuk mengalah dalam rangka mencapai kedamaian bersama aripada konfrontasi yang berdampak pada ketidakdamaian. Sehingga tak heran manakala terjadi kudeta militer tidak sampai terjadi peristiwa berdarah. Karena selain peran Raja yang berpengaruh terhadap legitimasi kudeta tersebut, peran agama Budha yang cinta damai juga tak kalah pengaruhnya terhadap way of life masyarakat Thai.
Berdasarkan hal tersebut diatas maka dapat dilihat bahwa demokrasi yang ada di Thailand akan selalu mengalami dan menghadapi two face of dillema dan binarry opposition, yaitu di satu sisi nilai demokrasi berusaha diterapkan dan dijalankan dengan sepenuh hati namun disisi lain ada nilai-nilai tradisional yang berberturan dengan paham demokrasi. Terlebih hal itu diperparah dengan persaingan politik antara kaum elit yang ada. Jadi, proses transisi menuju Demokrasi yang sesungguhnya sesuai dengan nilai-nilai liberalisme sangat panjang dan berliku yang musti dihadapi oleh Thailand.
Tentunya untuk menerapkan sebuah rezim demokrasi di Thailand butuh waktu yang panjang dan proses adaptasi yang memakan biaya-sosial yang tinggi manakala nilai-nilai liberalisme Barat harus menjadi nilai utama dalam tranformasi sosial menuju demokrasi sesungguhnya. Hal ini diperlukan karena, demokrasi tidak akan bisa diterapkan tanpa menerapkan nilai-nilai Barat yang memang merupakan pondasi utama bagi kemajuan demokrasi suatu negara. Permasalahan yang muncul adalah apakah masyarakat bisa menerima dengan begitu saja sebuah nilai yang bukan merupakan nilai yang berasal dari budaya setempat? Tentunya antara ya dan tidak. Ya, jika mereka telah merubah tatanan nilai dan norma sesuai dengan nilai Barat. Tidak, jika mereka menganggap bahwa nilai tradisional mereka merupakan nilai yang tidak dapat dihilangkan dan ditinggalkan begitu saja karena telah mengakar kuat dalam akar budaya dan sistem kepercayaan mereka. Bagi masyarakat Thai, hal tersebut cenderung pada Tidak, karena nilai-nilai yang mereka miliki meruupakan nilai warisan nenek moyang dan merupakan hal yang sakral apabila ditinggalkan. Terlebih, akar budaya agama Budha sangatlah kental dalam membentuk karakter masyarakat Thai. Tak heran jika budaya politik mereka adalah Parokial, dicirikan dengan rendahnya pengetahuan dan kesadaran politik, dan Subjek, dicirikan kepatuhan pada pejabat-pejabat pemerintahan dan hukum yang berlaku.
Oleh karena itu, merujuk pada kaum postmodernis, nilai-nilai demokrasi pada hakikatnya bisa diterapkan sesuai dengan tata nilai dan budaya yang ada di Thailand sendiri, jadi Demokrasi ala Thailand. Karena, pembangunan politik dan sosial suatu bangsa bisa jadi sama, yaitu ingin mencapai masyarakat yang adil, makmur, dan madani, namun wujud untuk mencapainya berbeda. Sehingga nilai terbaik bagi Thailand sebenarnya bukanlah nilai Demokrasi sesuai dengan standar Barat tetapi dapat diadaptasi dan dimodifikasi dengan nilai-nilai dan tradisi Thai yang pada akhirnya akan tercipta rezim demokrasi sesuai dengan social-character masyarakat Thai. Bila itu tercapai maka tidaklah suatu hal yang mustahil jika kondisi politik akan stabil tanpa ada persaingan antar elit.
Hal yang perlu dilihat lagi adalah untuk membangun rezim demokrasi ala Thailand seharusnya ketiga elit yang bertentangan tersebut harus menyadari akan nilai-nilai Thai sehingga mereka dapat berkumpul bersama dengan raja dan rakyatnya untuk membentuk semacam konsensus nasional bagi pembanguanan state building yang diinginkan. Tetapi, apakah itu mungkin? Kita lihat saja bagaimana tekanan dari negara tetangga terhadap Thailand akan merubah semua itu dan bagaimanan kaum elit tersebut sadar akan posisi nilai di masyarakat Thai. Sekali lagi kapan?
Perbandingan Dengan Budaya Politik Di Indonesia
Budaya yang berasal dari kata ‘buddhayah’ yang berarti akal, atau dapat juga didefinisikan secara terpisah yaitu dengan dua buah kata ‘budi’ dan ‘daya’ yang apabila digabungkan menghasilkan sintesa arti mendayakan budi, atau menggunakan akal budi tersebut. Bila melihat budaya dalam konteks politik hal ini menyangkut dengan sistem politik yang dianut suatu negara beserta segala unsur (pola bersikap & pola bertingkah laku) yang terdapat didalamnya.
Sikap & tingkah laku politik seseorang menjadi suatu obyek penanda gejala-gejala politik yang akan terjadi pada orang tersebut dan orang-orang yang berada di bawah politiknya. Contohnya ialah jikalau seseorang telah terbiasa dengan sikap dan tingkah laku politik yang hanya tahu menerima, menurut atau memberi perintah tanpa mempersoalkan atau memberi kesempatan buat mempertanyakan apa yang terkandung dalan perintah itu. Dapat diperkirakan orang itu akan merasa aneh, canggung atau frustasi bilamana ia berada dalam lingkungan masyarakatnya yang kritis, yang sering, kalaulah tidak selalu, mempertanyakan sesuatu keputusan atau kebijaksanaan politik.
Kebudayaan politik Indonesia pada dasarnya bersumber pada pola sikap dan tingkah laku politik yang majemuk.
Idealisme diakui memanglah penting. Tetapi bersikap berlebihan atas idealisme itu akan menciptakan suatu ideologi yang sempit yang biasanya akan menciptakan suatu sikap dan tingkahlaku politik yang egois dan mau menang sendiri. Demokrasi biasanya mampu menjadi jalan penengah bagi atas polemik ini.
Budaya politik Negara Maju
Budaya Politik di  Negara maju dapat kita lihat di Negara jepang  Dimana jepang  adalah salah satu dari sedikit negara-negara non-Eropa untuk memodernisasi sementara tetap mempertahankan budaya sendiri.. Budaya ini tetap terwujud dalam politik dan ekonomi Jepang. Salah satu aspek dari Jepang pasca-perang budaya politik adalah bahwa Jepang enggan untuk menerima rasa bersalah perang. dengan banyak fitur lain dari kehidupan politik Jepang mencerminkan norma yang kuat dari kelompok menjaga harmoni.. Individu diajarkan bahwa kelompok pertama datang, dan mereka bersedia menerima kerja keras, kondisi hidup miskin, dan terbatas kebebasan pribadi untuk mendukung kelompok. Mempekerjakan ujian sulit untuk menentukan kemajuan. Para mahasiswa masuk universitars  dapat menentukan jenis pekerjaan apa yang ia akan memperoleh setelah lulus. Perusahaan kesetiaan dan rasa hormat yang kuat.. Beberapa pekerja Jepang menderita karoshi, sebuah penyakit yang disebabkan oleh terlalu banyak bekerja.. Namun, sikap ini berubah dengan generasi muda, yang lebih mirip dengan rekan Amerika dan Eropa. Meskipun budaya Jepang tidak berubah, ia melakukannya perlahan-lahan dan pada istilah Jepang

Budaya Politik Di Negara Maju (Singapura)
Budaya politik di Singapura telah mengalami berbagai pengaruh dari luar terutama pengaruh ketika  dijajah oleh colonial Inggris, sehingga perkembangan sistem politik di Singapura lebih signifikan dan telah mengalami kemajuan daripada Negara lain.
Konstitusi Singapura berdasarkan sistem Westminster karana Singapura merupakan bekas jajahan Inggris. Posisi presiden adalah simbolis dan kekuasaan pemerintahan berada di tangan perdana menteri yang merupakan ketua partai politik yang memiliki kedudukan mayoritas di parlemen. Urutan Presiden Singapura adalah: Yusof bin Ishak, Benjamin Henry Sheares, C.V. Devan Nair, Wee Kim Wee, Ong Teng Cheong, dan yang sekarang menjabat adalah S. R. Nathan.
Arena politik dikuasai oleh Partai Aksi Rakyat (PAP) yang telah memerintah sejak Singapura merdeka. Pemerintah PAP sering dikatakan memperkenalkan undang-undang yang tidak memberi kesempatan tumbuhnya penumbuhan partai-partai oposisi yang efektif. Cara pemerintahan PAP dikatakan lebih cenderung kepada otoriter daripada demokrasi yang sebenarnya. Namun, cara pemerintahan tersebut berhasil menjadikan Singapura sebuah negara yang maju, bebas daripada korupsi dan memiliki pasar ekonomi yang terbuka. Para ahli politik menganggap Singapura sebuah negara yang berideologi ‘demokrasi sosialis’.
Meskipun begitu Lee Kwan Yew, pendiri dan perancang sistem politik negara Singapura juga telahmengembangkan konsep yang menempatkan nilai budaya sebagai elemen penting dalam sebuah sistem politik. Menurutnya politik berbasis multibudaya tidak akan pas bagi negara dengan masyarakat yang multirasial seperti Singapura.
Sebagai konsekuensinya, di Singapura ditetapkan sebuah sistem yang oleh dunia Barat
dianggap tidak demokratis. Hal ini menunjukkan bahwa Singapura merupakan “anauthoritarian Confucian anomaly among the wealthy countries of the world” (Huntington, 1991: 302).
Hasil pemikiran para pakar umunya menyimpulkan bahwa budaya memberikan pengaruh tertentu bagaimana demokrasi diadopsi oleh berbagai negara (lihat Alagappa, 1996;
Fukuyama, 1996; Lipset, 1996; Huntington, 1996: Inglehart, 2000). Berkembang pemikiran nilai budaya sebagai faktor determinan yang menentukan suksesnya ekonomi negara-negara Asia Timur. Tetapi sejak terjadinya krisis ekonomi, argumentasi mengenai keunggulan nilai budaya Asia (Asian values) seakan menghilang.
Amartya Sen (2001: 6) mengritik hipotesis Lee Kwan Yew bahwa negara yang didominasi oleh budaya Confucianism mempunyai peluang pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat,
hanyalah berbasis pada perhitungan empiris yang sporadik dari informasi yang terbatas dan sangat selektif.
Kenyataan memang menunjukan negara-negara di Asia dalam membangun sistem demokrasinya lebih banyak mengedepankan gaya demokrasi ala barat seperti Filipina, Korea,Thailand, Taiwan dan sekarang ini Indonesia. Walaupun demikian nilai budaya masih dianggap
sebagai variabel penting dalam pelaksanaan demokrasi. Seperti dinyatakan oleh Inglehart (2000: 96) bahwa dalam jangka panjang, demokrasi tidak hanya didasari pada perubahan institusi atau perilaku elit politik, melainkan keberlangsungannya akan tergantung pada nilai dan kepercayaan dari masyarakat awam di wilayahnya.
Dahl (1997: 34) memperkuat gagasan bahwa konsolidasi demokrasi menuntut budaya demokrasi yang kuat yang memberikan kematangan emosional dan dukungan yang rasional untuk menerapkan prosedur-prosedur demokrasi. Ia melandaskan penekanannya pada pentingnya budaya demokrasi pada asumsi bahwa semua sistem politik termasuk
sistem demokrasi, cepat atau lambat akan menghadapi krisis, dan budaya demokrasi yang tertanam dengan kuatlah yang akan menolong negara-negara demokrasi melewati krisis tersebut.
Implikasinya proses demokratisasi tanpa budaya demokrasi yang mengakar menjadi rentan dan bahkan hancur ketika menghadapi krisis seperti kemerosotan ekonomi, konflik regional atau konflik sosial, atau krisis politik yang disebabkan oleh korupsi atau kepemimpinan yang terpecah. Sejalan dengan pemikiran Dahl, Huntington (ibid: 258)
memfokuskan pada isu budaya demokrasi dalam hubungan antara kinerja dan efektifitas pemerintah demokratis baru dan legitimasinya, sebagai bentuk kepercayaan publik dan elit politik terhadap sistem nilai demokrasi. Budaya demokratis harus berarti
adanya pemahaman bahwa demokrasi bukanlah panacea. Karena itu, konsolidasi demokrasi terjadi bila masyarakat menyadari bahwa demokrasi merupakan solusi dari masalah tirani tetapi belum tentu untuk masalah lain (ibid: 263).
Huntington memperingatkan bahwa tahun-tahun pertama berjalannya masa kekuasaan
pemerintahan demokratis yang baru, umumnya akan ditandai dengan bagi-bagi kekuasaan di antara koalisi yang menghasilkan transisi demokrasi tersebut, penurunan efektifitas kepemimpinan dalam pemerintahan yang baru sedangkan dalam pelaksanaan demokrasi itu sendiri belum akan mampu menawarkan solusi mendasar terhadap
berbagai permasalahan sosial dan ekonomi di negara yang bersangkutan. Tantangan bagi
konsolidasi demokrasi adalah bagaimana menyelesaikan masalah-masalah tersebut dan tidak justru hanyut oleh permasalahan-permasalahan itu.
Kesimpulan
Meskipun, Negara Indonesia termasuk Negara baru merdeka atau baru berkembang dari Negara lainnya, namun Negara Indonesia memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap perkembangan dunia Internasional saat itu.
Budaya politik yang diterapkan oleh Negara Indonesia pun tidak mengalami pengaruh dari intimidasi Negara lain. Itulah dia budaya politik “Demokrasi” yang menjunjung sikap dan perilaku yang terpuji, baik dari per Individu maupun kolektif.
Kita sebagai warga Negara Indonesia sebaiknya kita berbanga hati karena Negara kita memiliki budaya politik yang sangat sistematis, dan tersusun rapi dalam pelaksanaan nya,  dan tidak mengalami pengaruh dari luar.
Meskipun, pengaruh dari luar memilki pengaruh yang sangat baik bagi perkembagan budaya politik kita. Namun, itu akan memudarkan keaslian dari budaya politik Indonesia yang sesungguhnya. Bhineka tunggal Ika itulah kita “berbeda-beda tetapi satu jua
Itulah juga yang menjadi inspirasi bagi budaya politik kita.
Layaknya Negara Singapura yang dulunya juga merupakan wilayah jajahan Inggris sekarang telah menjadi atau termasuk salah satu Negara Maju itu karena mereka juga memilki kemampuan untuk menerima dan menyeleksi pengaruh dari luar agar dapat menjadi sebuah kemajuan bagi bangsanya sendiri terutama di bidang pembangunan, politik, ekonomi, dan lain lain. Malah mereka memiliki budaya politik yang lebih maju.
Saya mengatakan seperti itu, bukan berarti Negara Indonesia juga tidak bisa melakukan  seperti apa yang bisa mereka lakukan. Beberapa factor mempengaruhi kenapa pengaruh luar itu sangat tidak sesuai bagi perkembangan Negara kita baik di bidang budaya, politik, patriotisme, dan lainnya.

2. PENGAMBILAN KEPUTUSAN    
Para ilmuwan politik dan para ilmuwan sosial pada umumnya telah banyak mengembangkan model, pendekatan, konsep dan rancangan untuk menganalisis pembuatan kebijaksanaan negara dan komponennya, yaitu pengambilan/pembuatan keputusan. Sekalipun demikian, pada umumnya ahli-ahli ilmu politik lebih sering menunjukkan hasrat yang tebih besar dalam mengembangkan teori mengenai kebijaksanaan negara daripada mempelajari praktek kebijaksanaan negara itu sendiri. Walaupun begitu, haruslah diakui bahwa konsep-konsep dan model-model tersebut amat penting dan bermanfaat guna dijadikan pedoman dalam analisis kebijaksanaan, karena konsep-tonsep dan model-model tersebut dapat memperjelas dan mengarahan pemahaman kila tcrhadap pembuatan kebijaksanaan negara’ mempermudah arus komunikasi dan memberikan penjelasan yang memadai bagi tindakan kebijaksanaan. Jelasnya, jika kita bermaksud mempelajari atau meneliti kebijaksanaan tertentu maka kita membutuhkan suatu pedoman dan kriteria yang relevan dengan apa yang sedang menjadi pusat perhatian kita. Sebab, apa yang kita temukan dalam realita sebetulnya bergantung pada apa yang kita cari, dan dalam hubungan ini konsep-konsep dan teori-teori kebijaksanaan yang ada dapat memberikan arah pada penelitian yang sedang kita lakukan.

Pembuatan Kebijaksanaan Negara menurut seorang pakar kebijaksanaan negara dari Afrika, chief J.o. Udoji (1981) merumuskan secara terperinci pembuatan kebijaksanaan negara sebagai keseluruhan proses yang menyangkut pengartikulasian dan pendefinisiaan masalah, perumusan kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dalam bentuk tuntutan-tuntutan politik, penyaluran tuntutan-tuntutan tersebut ke dalam sistem politik, pengupayaan pemberian sanksi-sanksi atau legitimasi dari arah tindakan yang dipilih, pengesahan dan pelaksanaan /implementasi, monitoring dan peninjauan kembali (umpan balik).
Pengambilan keputusan mengandung arti pemilihan altematif terbaik dari sejumlan Atematif yang tersedia. Teori-teori pengambilan keputusan bersangkut paut dengan masalah bagaimana pilihan-pilihan semacam itu dibuat. Kebijaksanaa, sebagai telah kita rumuskan di muka, adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh seseorang aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan suatu masalah atau persoalan tertentu.
Secara tipikal pembuatan kebijaksanaan merupakan tindakan yang berpola, yang dilakukan sepanjang waktu dan melibatkan banyak keputusan yang di antaranya ada yang merupakan keputusan rutin, ada yang tidak rutin. Dalam praktek pembuat kebijaksanaan sehari-hari amat jarang kita jumpai suatu kebijaksanaan yang hanya terdiri dari keputusan tunggal. Dalam tulisan ini akan dibahas 3 (tiga) teori pengambilan keputusan yang dianggap paling sering dibicarakan dalam pelbagai kepustakaan kebijaksanaan negara.
Teori-teori yang dimaksud ialah : teori Rasional komprehensif, teori Inkremental dan teori Pengamatan terpadu.
Teori Rasional Komprehensif
Teori pengambilan keputusan yang paling dikenal dan mungkin pula yang banyak diterima oleh kalangan luas ialah teori rasional komprehensif. Unsur-unsur utama dari teori ini dapat dikemukakan sebagai berikut :
1. Pembuat keputusan dihadapkan pada.suatu masalah tertentu yang dapat dibedakan dari masalah-masalah lain atau setidaknya dinilai sebagai masalah-masalah yang dapat diperbandingkan satu sama lain.
2. Tujuan-tujuan, nilai-nilai, atau sasaran yang mempedomani pembuat keputusan amat jelas dan dapat ditetapkan rangkingnya sesuai dengan urutan kePentingannya.
3. Pelbagai altenatif untuk memecahkan masalah tersebut diteliti secara saksama.
4. Akibat-akibat (biaya dan manfaat) yang ditmbulkan oleh setiap altenatif Yang diPilih diteliti.
5. Setiap alternatif dan masing-masing akibat yang menyertainya,
dapat diperbandingkan dengan alternatif-altenatif lainnya.
6. Pembuat keputusan akan memilih alternatif’ dan akibat-akibatnya’ yang dapat memaksimasi tercapainya tujuan, nilai atau Sasaran yang telah digariskan.
Teori rasional komprehensif banyak mendapatkan kritik dan kritik yang paling tajam berasal dari seorang ahli Ekonomi dan Matematika Charles Lindblom (1965 , 1964′ 1959)’ Lindblom secara tegas menyatakan bahwa para pembuat keputusan itu sebenarya tidaklah berhadapan dengan masalah-masalah yang konkrit dan terumuskan dengan jelas.
Lebih lanjut, pembuat keputusan kemungkinan juga sulit untuk memilah-milah secara tegas antara nilai-nilainya sendiri dengan nilai-nilai yang diyakini masyarakat. Asumsi penganjur model rasionar bahwa antara fakta-fakta dan nilai-nilai dapat dengan mudah dibedakan, bahkan dipisahkan, tidak pemah terbukti dalam kenyataan sehari-hari. Akhirnya, masih ada masalah’ yang disebut ,,sunk_cost,,. Keputusan_-keputusan, kesepakatan-kesepakatan dan investasi terdahulu dalam kebijaksanaan dan program-program yang ada sekarang kemungkinan akan mencegah pembuat keputusan untuk membuat keputusan yang berbeda sama sekali dari yang sudah ada.
Untuk konteks negara-negara sedang berkembang, menurut R’s. Milne (1972), mode irasionar komprehensif ini jelas tidak akan muduh diterapkan. Sebabnya ialah: informasi/datastatistik tidak memadai ; tidak memadainya perangkat teori yang siap pakai untuk kondisi- kondisi negara sedang berkembang ; ekologi budaya di mana sistem pembuatan keputusan itu beroperasi juga tidak mendukung birokrasi di negara sedang-berkembang umumnya dikenal amat lemah dan tidak sanggup memasok unsur-unsur rasionar dalam pengambilan keputusan.
Teori Inkremental
Teori inkremental dalam pengambilan keputusan mencerminkan suatu teori pengambilan keputusan yang menghindari banyak masalah yang harus dipertimbangkan (seperti daram teori rasional komprehensif) dan, pada saat yang sama, merupakan teori yang lebih banyak menggambarkan cara yang ditempuh oleh pejabat-pejabat pemerintah dalam mengambil kepurusan sehari-hari.
Pokok-pokok teori inkremental ini dapat diuraikan sebagai berikut.
a. Pemilihan tujuan atau sasaran dan analisis tindakan empiris yang diperlukan untuk mencapainya dipandang sebagai sesuatu hal yang saling terkait daripada sebagai sesuatu hal yang saling terpisah.
b. Pembuat keputusan dianggap hanya mempertimbangkan beberapa altematif yang langsung berhubungan dengan pokok masalah dan altematif-alternatif ini hanya dipandang berbeda secara inkremental atau marginal bila dibandingkan dengan kebijaksanaan yang ada sekarang.
c. Bagi tiap altematif hanya sejumlah kecil akibat-akibat yang mendasar saja yang akan dievaluasi.
d. Masalah yang dihadapi oleh pembuat keputusan akan didedifinisikan secara terarur. Pandangan inkrementalisme memberikan kemungkin untuk mempertimbangkan dan menyesuaikan tujuan dan sarana serta sarana dan tujuan sehingga menjadikan dampak dari masalah itu lebih dapat ditanggulangi.
e. Bahwa tidak ada keputusan atau cara pemecahan yang tepat bagi tiap masalah. Batu uji bagi keputusan yang baik terletak pada keyakinan bahwa berbagai analisis pada akhirnya akan sepakat pada keputusan tertentu meskipun tanpa menyepakati bahwa keputusan itu adalah yang paling tepat sebagai sarana untuk mencapai tujuan.
f. Pembuatan keputusan yang inkremental pada hakikatnya bersifat perbaikan-perbaikan kecil dan hal ini lebih diarahkan untuk memperbaiki ketidaksempunaan dari upaya-upaya konkrit dalam mengatasi masalahsosial yang ada sekarang daripada sebagai upaya untuk menyodorkan tujuan-tujuan sosial yang sama sekali baru di masa yang akan datang.
Kepurtusan-keputusan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pada hakikatnya merupakan produk dari saling memberi dan menerima dan saling percaya di antara pelbagai pihak yang terlibat dalam proses keputusan tersebut. Dalam masyarakat yang strukturnya majemuk paham lnkremental ini secara politis lebih aman karena akan lebih gampang untuk mencapai kesepakatan apabila masalatr-masalah yang diperdebatkan oleh pelbagai kelompok yang terlibat hanyalah bersifat upaya untuk memodifikasi terhadap program-program yang sudah ada daripada jika hal tersebut menyangkut isu-isu kebijaksanaan mengenai perubahan-perubahan yang radikal yang memiliki sifat ” ambil semua atau tidak sama sekali. Karena para pembuat keputusan itu berada dalam keadaan yang serba tidak pasti khususnya yang menyangkut akibat-akibat dari tindakan-tindakan mereka di masa datang, maka keputusan yang bersifat inkremental ini akan dapat mengurangi resiko dan biaya yang ditimbulkan oleh suasana ketidakpastian itu Paham inkremental ini juga cukup rcalistis karena ia menyadari bahwa para pembuat keputusan sebenamya kurang waktu, kurang pengalaman dan kurang sumber-sumber lain yang diperlukan untuk melakukan analisis yang komprehensif terhadap semua altematif untuk memecahkan masalah-masalah yang ada.
Teori Pengamatan Terpadu (Mixed Scanning Theory)
Penganjur teori ini adalah ahli sosiologi organisasi Amitai Etzioni. Etzioni setuju terhadap kritik-kritik para teoritisi inkremental yang diarahkan pada teori rasional komprehensif, akan tetapi ia juga menunjukkan adanya beberapa kelemahan yang terdapat pada teori inkremental. Misatnya, keputusan-keputusan yang dibuat oleh pembuat keputusan penganut model inkremental akan lebih mewakili atau mencerminkan kepentingan-kepentingan dari kelompok-kelompok yang kuat dan mapan serta kelompok-kelompok yang mampu mengorganisasikan kepentingannya dalam masyarakat, sementara itu kepentingan-kepentingan dari kelompok-kelompok yang lemah dan yang secara politis tidak mampu mengorganisasikan kepentingannya praktis akan terabaikan. Iebih lanjut” dengan memusatkan perhatiannya pada kepentingan/tujuan jangka pendek dan hanya berusaha untuk memperhatikan variasi yang terbatas dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan yang ada sekarang, maka model inkremental cenderung mengabaikan peluang bagi perlunya pembaruan sosial (social inovation) yang mendasar.
Oleh karena itu, menurut Yehezkel Dror (1968) gaya inkremental dalam pembuatan keputusan cenderung menghasilkan kelambanan dan terpeliharanya status quo, sehingga merintangi upaya menyempurnakan proses pembuatan keputusan itu sendiri. Bagi sarjana seperti Dror– yang pada dasamya merupakan salah seorang penganjur teori rasional yang terkemuka — model inkremental ini justru dianggapnya merupakan strategi yang tidak cocok untuk diterapkan di negara-negara sedang berkembang, sebab di negara-negara ini perubahan yang kecil-kecilan (inkremental) tidaklah memadai guna tercapainya hasil berupa perbaikan-perbaikan besar-besaran.
Model pengamatan terpadu juga memperhitungkan tingkat kemampuan para pembuat keputusan yang berbeda-beda. Secara umum dapat dikatakan, bahwa semakin besar kemampuan para pembuat keputusan untuk memobilisasikan kekuasaannya guna mengimplementasikan keputusan-keputusan mereka, semakin besar keperluannya untuk melakukan scanning dan semakin menyeluruh scanning itu, semakin efektif pengambilan keputusan ‘tersebul Dengan demikian, moder pengamatan terpadu ini pada hakikatnya merupakan pendekatan kompromi yang menggabungkan pemanfaatan model rasional komprehensif dan moder inkremental dalam proses pengambilan keputusan.
Kriteria pengambilan Keputusan
Menurut konsepsi Anderson, nilai-nilai yang kemungkinan menjadi pedoman perilaku para pembuat keputusan itu dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) kategori, yaitu:
Nilai-nilai Politik.
Pembuat keputusan mungkin melakukan penilaian atas altematif kebijaksanaan yang dipilihnya dari sudut pentingnya altematif-altematil itu bagi partai politiknya atau bagi kelompok-kelompok klien dari badan atau organisasi yang dipimpinnya. Keputusan-keputusan yang lahir dari tangan para pembuat keputusan seperti ini bukan mustahil dibuat demi keuntungan politik’ dan kebijaksanaan dengan demikian akan dilihat sebagai instrumen untuk memperluas pengaruh-pengaruh politik atau untuk mencapai tujuan dan kepentingan dari partai politik atau tujuan dari kelompok kepentingan yang bersangkutan.
Nilai-nilai organisasi.
Para pembuat kepurusan, khususnya birokrat (sipil atau militer), mungkin dalam mengambil keputusan dipengaruhi oleh nilai-nilai organisasi di mana ia terlibat di dalamnya’ Organisasi, semisal badan-badan administrasi, menggunakan berbagai bentuk ganjaran dan sanksi dalam usahanya untuk memaksa para anggotanya menerima, dan bertindak sejalan dengan nilai-nilai yang telah digariskan oleh organisasi. Sepanjang nilai-nilai semacam itu ada, orang-orang yang bertindak selaku pengambil keputusan dalam organisasi itu kemungkinan akan dipedomani oleh pertimbangan-pertimbangan semacam itu sebagai perwujudan dari hasrat untuk melihat organisasinya tetap lestari, unuk tetap maju atau untuk memperlancar program-program dan kegiatan-kegiatannya atau atau untuk mempertahankan kekuasaan dan hak-hak istimewa yang selama ini dinikmati.
Nilai-nitai Pribadi.
Hasrat untuk melindungi atau memenuhi kesejateraan atau kebutuhan fisik atau kebutuhan finansial’ reputasi diri, atau posisi historis kemungkinan juga digunakan- oleh para pembuat teputusan sebagai kriteria dalam pengambilan keputusan.
Para politisi yang menerima uang sogok untuk membuat kepurusan tertentu yang menguntungkan si pemberi uang sogok, misalnya sebagai hadiah pemberian perizinan atau penandatanganan kontrak pembangunan proyek tertentu, jelas mempunyai kepentingan pribadi dalam benaknya. Seorang presiden yang mengatakan di depan para wartawan bahwa ia akan menggebut siapa saja yang bertindak inkonstirusional, jelas juga dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan pribadinya’misalnya agar ia mendapat tempat terhormat dalam sejarah bangsa sebagai seseorang yang konsisten dan nasionalis.
Nilai-nilai Kebijaksanaan.
Dari perbincangan di atas, satu hal hendaklah dicamkan, yakni janganlah kita mempunyai anggapan yang sinis dan kemudian menarik kesimpulan bahwa para pengambil keputusan politik inr semata-mata hanyalah dipengaruhi oleh pertimbangan-penimbangan demi keuntungan politik, organisasi atau pribadi. Sebab, para pembuat keputusan mungkin pula bertindak berdasarkan atas penepsi mereka terhadap kepentingan umum atau keyakinan tertentu mengenai kebijaksanaan negara apa yang sekiranya secara moral tepat dan benar. Seorang wakil rakyat yang mempejuangkan undang-undang hak kebebasan sipil mungkin akan bertindak sejalan dengan itu karena ia yakin bahwa tindakan itulah yang secara moral benar, dan bahwa persamaan hak-hak sipil itu memang merupakan tujuan kebijaksanaan negara yang diinginkan, tanpa mempedulikan bahwa perjuangan itu mungkin akan menyebabkannya mengalami resiko-resiko politik yang fatal.
Nilai-nilai Ideologis.
Ideologi pada hakikatnya merupakan serangkaian nilai-nilai dan keyakinan yang secara logis saling berkaitan yang mencerminkan gambaran sederhana mengenai dunia serta berfungsi sebagai pedoman benindak bagi masyarakat yang meyakininya. Di berbagai negara sedang berkembang di kawasan Asia, Afrika dan Timur Tengah nasionalisme yang mencerminkan hasrat dari orang-orang atau bangsa yang bersangkutan untuk merdeka dan menentukan nasibnya sendiri — telah memberikan peran penting dalam mewamai kebijaksanaan luar negeri maupun dalam negeri mereka. Pada masa gerakan nasional menuju kemerdekaan, nasionalisme telah berfungsi sebagai minyak bakar yang mengobarkan semangat perjuangan bangsa-bangsa di negara-negara sedang berkembang melawan kekuatan kolonial.
Di Indonesia, ideologi Pancasila setidaknya bila dilihat dari sudut perilaku politik regim, telah berfungsi sebagai resep untuk melaksanakan perubahan sosial dan ekonomi. Bahkan ideologi ini kerapkali juga dipergunakan sebagai instrumen pengukur legitimasi bagi partisipasi politik atau partisipasi dalam kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok dalam masyarakat (Abdul Wahab, Solichin, 1987).
Aktor-aktor Yang Berperan Dalam Proses Kebijaksanaan
Dalam proses kebijaksanaan, menurut Charles O. Jones, sedikitnya ada 4 (empat) golongan atau ripe aktor (pelaku) yang terlibat, yakni : golongan rasionalis, golongan teknisi, golongan inkrementalis, dan golongan reformis. Sungguhpun demikian, patut hendaknya diingat bahwa pada kesempatan tertentu dan untuk suatu jenis isu tertentu kemungkinan hanya satu atau dua golonga aktor tertentu yang berpengaruh dan aktif terlibat. Peran yang dimainkan oleh keempat golongan aktor tersebut dalam proses kebijaksanaan, nilai-nilai dan tujuan yang mereka kejar serta gaya kerja mereka berbeda satu sama lain. Uraian berikut akan menguraikan bagaimana perilaku masingmasing golongan aktor tersebut dalam proses kebijaksanaan.
Golongan Rasionalis. Ciri-ciri utama dari kebanyakan golongan aktor rasionalis ialatl batrwa dalam melakukan pilihan altematif kebijaksanaan mereka selalu menempuh metode dan langkah-langkah berikut :
1) mengidentifikasikan masalah;
2) merumuskan tujuan dan menysunnya dalam jenjang tertentu;
3) mengidentifikasikan semua altematif kebijaksanaan;
4) meramalkan atau memprediksi akibat-akibat dari tiap altematif;
5) membandingkan akibat-akibat tersebut dengan selalu mengacu pada tujuan;
6) dan memilih alternatif terbaik.
Berdasarkan pada ciri-ciri tersebut, maka perilaku golongan aktor rasionalis ini identik dengan peran yang dimainkan oleh para perencana dan analis kebijaksanaan yang profesional yang amat terlatih dalam menggunakan metode-metode rasional apabila menghadapi masalah-masalah publik.
Oleh golongan rasionalis ini metode-metode seperti itu kerapkali merupakan nilai-nilai yang amat dipuja-puja, sehingga tidak heran apabila metode-metode itulah yang selalu mereka anjurkan untuk dipergunakan. Dengan metode rasional ini diasumsikan bahwa segala tujuan dapat ditetapkan sebelumnya dan bahwa informasi/data yang serba lengkap dapat disediakan. Oleh sebab itu gaya kerja golongan rasionalis cenderung seperti gaya kerja seoriang perencana yang komprehensif, yakni seorang yang berusaha untuk menganalisis semua aspek dari setiap isu yang mucul dan menguji setiap altematif yang mungkin berikut semul akibat dan dukungannya terhadap tercapainya tujuan yang telah ditetapkan.
Golongan Teknisi.
Seorang teknisi pada dasamya tidak lebih dari rasionalis, sebab ia adalah seorang yang karena bidang keahliannya atau spesialisasinya dilibatkan dalam beberapa tahapan proses kebijaksanaan. Golongan teknisi dalam melaksanakan fugasnya boleh jadi memiliki kebebasan, namun kebebasan ini sebatas pada lingkup pekerjaan dan keahliannya. Biasanya mereka beke{a di proyet-proyek yang membufuhkan keatrliannya, namun apa yang harus mereka kerjakan biasanya ditetapkan oleh pihak lain. Peran yang mereka mainkan dalam hubungan ini ialah sebagai seorang spesialis atau ahli yang dibutuhkan tenaganya untuk menangani tugas-tugas tertentu.
Nilai_nilai yang mereka yakini adalah nilai-nilai yang berkaitan erat dengan latar belakang keahlian profesional mereka, misalnya sebagai insinyur elektro, ahli informatika dan ilmu komputer, ahli fisika, ahli statistika dan lain sebagainya. Tujuan yang ingin dicapai biasanya ditetapkan oleh pihak lain, mungkin oleh salah satu di antara golongan aktor yang telah kita sebutkan di atas, atau boleh jadi gabungan dari golongan-golongan aktor tersebu. Gaya kerja dari golongan teknisi ini agak berlainan jika dibandingkan dengan golongan rasionalis (yang cenderung bersifat komprehensif). Golongan teknisi umumya menunjukkan rasa antusiasrne dan rasa percaya diri yang tinggi apabila mereka diminta untuk bekerja dalam batas-batas pendidikan dan keahliannya, namun cenderung enggan untuk melakukan pertimbangan-pertimbangan yang amat luas melampaui batas-batas keahliannya tersebut.
Golongan inkrementalis.
Golongan aktor inkrementalis ini dapat kita identikkan dengan para politisi. para politisi, sebagaimana kita ketahui, cenderung memiliki sikap kritis namun acapkali tidak sabaran terhadap gaya kerja para perencana dan teknisi, walaupun mereka sebenarnya amat tergantung pada apa yang dikerjakan oleh para perencana dan para teknisi. Golongan inkrementalis pada umumnya meragukan bahwa sifat yang komprehensif dan serba rasional itu merupakan sesuatu yang mungkin dalam dunia yang amat penuh dengan ketidaksempurnaan ini.
Golongan inkrementalis memandang tahap-tahap perkembangan kebijaksanaan dan implementasinya sebagai suatu rangkaian proses penyesuaian yang terus menerus terhadap hasil akhir (yang berjangka dekat maupun yang berjangka panjang) dari suatu tindakan. Bagi golongan inkrementalis, informasi dan pengetahuan yang kita miliki tidak akan pemah mencukupi untuk menghasilkan suatu program kebijaksanaan yang lengkap. Oleh sebab itu pada umumnya mereka sudah cukup puas dengan melakukan perubahan-perubahan kecil. Nilai-nilai yang terkait dengan metode pendekatan ini ialah hal-hal yang berhubungan dengan masa lampau atau hal-hal yang berhubungan dengan terpeliharutya status quo — kestabilan dari sistem dan terpeliharanya status quo.
Kebijaksanaan apapun bagr golongan inkrementaris akan cenderung dilihat sebagai suatu perubahan yang terjadi secara sedikit demi sedikit (gradual changes).
Dalam hubungan ini rujuan kebijaksanaan dianggap sebagai konsekuensi dari adanya tuntutan-tuntutan, baik karena didorong kebutuhan untuk melakukan sesuatu yang baru atau karena kebutuhan untuk menyesuaikan dengan apa yang sudah dikembangkan dalam teori. Gaya kerja golongan inkrementalis ini dapat dikategorikan sebagai seseorang yang mampu melakukan tawar-menawar atau bargaining yakni dengan secara teratur mendengarkan tuntutan, menguji seberapa jauh intensitas tuntutan tersebut dan menawarkan kompromi.
Golongan Reformis (Pembaharu).
Seperti halnya golongan inkrementalis, golongan aktor reformis pada dasamya juga mengakui
akan terbatasnya informasi dan pengetahuan yang dibutuhkan dalam proses kebijaksanaan, sekalipun berbeda dalam cara menarik kesimpulan. Golongan inkrementalis berpendirian bahwa keterbatasan informasi dan pengetahuan itulah yang mendikte gerak dan langkah dalam proses pembuatan kebijaksanaan. Dalam kaitan ini Braybrooke dan Lindblom mengatakan, bahwa hanyalah kebijaksanaan-kebij aksanaan yang sebelumnya telah dikenal, dan yang akibat-akibatnya menimbulkan perubahan kecil pada apa yang sudah ada yang akan dipertimbangkan pendekatan seperti ini bagi golongan reformis (yang notabene menghendaki perubahan sosial), dianggap terlampau konservatif.
Golongan reformis ini sependapat dengan pandangan David Easton yang menyebutkan bahwa kita harus menerima sebagai kebenaran akan perlunya mengarahkan diri kita langsung pada persoalan-persoalan yang berlangsung hari ini untuk memperoleh jawaban singkat dan cepat dengan memanfaatkan perangkat analisis serta teori-teori mutakhir yang tersedia, betapapun tidak memadainya perangkat analisis dan teori-teori tersebut. Dengan dcmikian, tekanan perhatiannya adalah pada tindakan sekarang, karena urgensi dari persoalan yang dihadapi.
Pendekatan semacam itu umumnya ditempuh oleh para Lobbyist (orang-orang yang berperan selaku juru kasak-kasuk/Frerunding di parlemen). Nilai-nilai yang mereka junjung tinggi ialah yang berkaitan dengan upaya untuk melakukan perubahan sosial, kadang kala demi perubatran sosial ini sendiri, namun lebih sering bersangkut paut dengan Lepentingan kelompok-kelompok tertentu. Tujuan kebijaksanaan biasanya ditetapkan dalam lingkungan kelompok-kelompok tersebut, melalui berbagai macam proses, termasuk di antanmya atas dasar keyakinan pribadi bahwa hasil akhir dari tindakan pemerintah sekarang telah melenceng arahnya atau batrkan gagal. Karena itu gaya kerja golongan aktor reformis ini umumnya sangat radikal, kerapkali disertai dengan tindakan-tindkan demonstrasi dan konfrontasi dengan pihak pemerintah.
Melihat perbedaan-perbedaan perilaku keempat golongan aktor yang terlibat datam proses kebijaksanaan tersebut, tidak heran jika masing-masing golongan aktor itu saling mengecam. Golongan rasionalis sering aitecam/dikritik tidak memahami kodrat manusia. Braybrooke dan Lindblom, sebagai penganjur teori inkrementalis, malahan menyatakan bahwa lolongan aktor rasionalis itu terlalu idealistis sehingga tidak cocok dengan keterbatasan kemampuan manusia dalam mengatasi masalah.
Sementara itu golongan aktor teknisi kerapkali dituduh memiliki pandangan yang picik karena hanya peduli terhadap masalah-masalah sempit sebatas pada bidang keahliannya semata dan kurang peduli terhadap masalah-masalah publik yang luas, yang kemungkinan melampaui bidang keahlian yang dikuasainya. Golongan aktor inkrementalis di lain pihak, seringkali dianggap memiliki sikap konservatif sebab mereka tidak terlalu tanggap terhadap perubahan sosial atau bentuk-bentuk inovdsi yang lain. Akhirnya golongan aktor reformis seringkali dituduh mau menangnya sendiri, tidak sabaran, tidak kenal kompromi dan karena itu tidak realistis.
KESIMPULAN
1. Definisi Pembuatan Kebijaksanaan Negara sebagai keseluruhan proses yang menyangkut pengartikulasian dan pendefinisiaan masalah, perumusan kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dalam bentuk tuntutan-tuntutan politik, penyaluran tuntutan-tuntutan tersebut ke dalam sistem politik, pengupayaan pemberian sanksi-sanksi atau legitimasi dari arah tindakan yang dipilih, pengesahan dan pelaksanaan /implementasi, monitoring dan peninjauan kembali (umpan balik).
2. Terdapadat beberapa teori pengambilan keputusan yang dianggap paling sering dibicarakan dalam pelbagai kepustakaan kebijakan negara diantaranya ; Teori Rasional Komprehensif, Teori Inkremental, Teori Pengamatan Terpadu (Mixed Scanning Theory).
3. Menurut konsepsi Anderson, nilai-nilai yang kemungkinan menjadi pedoman perilaku para pembuat keputusan itu dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) kategori, yaitu : Nilai-nilai Politik, Nilai-nilai organisasi, Nilai-nitai Pribadi, Nilai-nilai Kebijaksanaan, Nilai-nilai Ideologis.
4. Dalam proses kebijaksanaan, menurut Charles O. Jones, sedikitnya ada 4 (empat) golongan atau tipe aktor (pelaku) yang terlibat, yakni : golongan rasionalis, golongan teknisi, golongan inkrementalis, dan golongan reformis

3. KEBIJAKAN UMUM
Kebijakan umum atau publik adalah keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas publik. Sebagai keputusan yang mengikat publik maka kebijakan publik haruslah dibuat oleh otoritas politik, yakni mereka yang menerima mandat dari publik atau orang banyak, umumnya melalui suatu proses pemilihan untuk bertindak atas nama rakyat banyak. Selanjutnya, kebijakan publik akan dilaksanakan oleh administrasi negara yang di jalankan oleh birokrasi pemerintah. Fokus utama kebijakan publik dalam negara modern adalah pelayanan publik, yang merupakan segala sesuatu yang bisa dilakukan oleh negara untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas kehidupan orang banyak. Menyeimbangkan peran negara yang mempunyai kewajiban menyediakan pelayan publik dengan hak untuk menarik pajak dan retribusi; dan pada sisi lain menyeimbangkan berbagai kelompok dalam masyarakat dengan berbagai kepentingan serta mencapai amanat konstitusi.

Setiap sistem politik pada dasarnya memproduksi kebijakan publik. Dan sistem politik itu bisa berupa negara, propinsi, kabupaten/kota, desa, bahkan RT dan RW. "Institusi" seperti ASEN, EU, PBB dan WTO adalah sistem politik juga, yang dapat disebut supra-negara.

Kebijakan publik tidak selalu dilakukan oleh birokrasi (saja), melainkan dapat pula dilaksanakan oleh perusahaan swasta, LSM ataupun masyarakat langsung. Misalnya, suatu sistem politik dapat memutuskan untuk memberantas nyamuk. Sistem politik itu dapat memerintah --tentu saja disertai kompensasi-- sebuah perusahaan swasta untuk melakukan penyemprotan nyamuk.

Terminologi
Terminologi kebijakan publik menunjuk pada serangkaian peralatan pelaksanaan yang lebih luas dari peraturan perundang-undangan, mencakup juga aspek anggaran dan struktur pelaksana. Siklus kebijakan publik sendiri bisa dikaitkan dengan pembuatan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, dan evaluasi kebijakan. Bagaimana keterlibatan publik dalam setiap tahapan kebijakan bisa menjadi ukuran tentang tingkat kepatuhan negara kepada amanat rakyat yang berdaulat atasnya. Dapatkah publik mengetahui apa yang menjadi agenda kebijakan, yakni serangkaian persoalan yang ingin diselesaikan dan prioritasnya, dapatkah publik memberi masukan yang berpengaruh terhadap isi kebijakan publik yang akan dilahirkan. Begitu juga pada tahap pelaksanaan, dapatkah publik mengawasi penyimpangan pelaksanaan, juga apakah tersedia mekanisme kontrol publik, yakni proses yang memungkinkan keberatan publik atas suatu kebijakan dibicarakan dan berpengaruh secara signifikan. Kebijakan publik menunjuk pada keinginan penguasa atau pemerintah yang idealnya dalam masyarakat demokratis merupakan cerminan pendapat umum (opini publik). Untuk mewujudkan keinginan tersebut dan menjadikan kebijakan tersebut efektif, maka diperlukan sejumlah hal: pertama, adanya perangkat hukum berupa peraturan perundang-undangan sehingga dapat diketahui publik apa yang telah diputuskan; kedua, kebijakan ini juga harus jelas struktur pelaksana dan pembiayaannya; ketiga, diperlukan adanya kontrol publik, yakni mekanisme yang memungkinkan publik mengetahui apakah kebijakan ini dalam pelaksanaannya mengalami penyimpangan atau tidak. Dalam masyarakat autoriter kebijakan publik adalah keinginan penguasa semata, sehingga penjabaran di atas tidak berjalan. Tetapi dalam masyarakat demokratis, yang kerap menjadi persoalan adalah bagaimana menyerap opini publik dan membangun suatu kebijakan yang mendapat dukungan publik. Kemampuan para pemimpin politik untuk berkomunikasi dengan masyarakat untuk menampung keinginan mereka adalah satu hal, tetapi sama pentingnya adalah kemampuan para pemimpin untuk menjelaskan pada masyarakat kenapa suatu keinginan tidak bisa dipenuhi. Adalah naif untuk mengharapkan bahwa ada pemerintahan yang bisa memuaskan seluruh masyarakat setiap saat, tetapi adalah otoriter suatu pemerintahan yang tidak memperhatikan dengan sungguh-sungguh aspirasi dan berusaha mengkomunikasikan kebijakan yang berjalan maupun yang akan dijalankannya. dalam pendekatan yang lain kebijakan publik dapat dipahami dengan cara memilah dua konsepsi besarnya yakni kebijakan dan publik. terminologi kebijakan dapat diartikan sebagai pilihan tindakan diantara sejumlah alternatif yang tersedia. artinya kebijakan merupakan hasil menimbang untuk selanjutnya memilih yang terbaik dari pilihan-pilihan yang ada. dalam konteks makro hal ini kemudian diangkat dalam porsi pengambilan keputusan. Charles Lindblom adalah akademisi yang menyatakan bahwa kebijakan berkaitan erat dengan pengambilan keputusan. Karena pada hakikatnya sama-sama memilih diantara opsi yang tersedia. Sedangkan terminologi publik memperlihatkan keluasan yang luar biasa untuk didefinisikan. akan tetapi dalam hal ini setidaknya kita bisa mengatakan bahwa publik berkaitan erat dengan state, market dan civil society. merekalah yang kemudian menjadi aktor dalam arena publik. sehingga publik dapat dipahami sebagai sebuah ruang dimensi yang menampakan interaksi antar ketiga aktor tersebut.
Tahap-Tahap Kebijakan Publik
Kebijakan Publik secara keilmuan dapat dilaksanakan bertahap, yaitu:
1.    identifikasi permasalahan
2.    skala prioritas
3.    rancangan kebijakan
4.    pengesahan
5.    pelaksanaan/implementasi
6.    evaluasi / penilaian
Pelaksanaan Kebijakan Publik
Dalam pelaksanaannya, kebijakan publik ini harus diturunkan dalam serangkaian petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang berlaku internal dalam birokrasi. Sedangkan dari sisi masyarakat, yang penting adalah adanya suatu standar pelayanan publik, yang menjabarkan pada masyarakat apa pelayanan yang menjadi haknya, siapa yang bisa mendapatkannya, apa persyaratannnya, juga bagaimana bentuk layanan itu. Hal ini akan mengikat pemerintah (negara) sebagai pemberi layanan dan masyarakat sebagai penerima layanan. Fokus politik pada kebijakan publik mendekatkan kajian politik pada administrasi negara, karena satuan analisisnya adalah proses pengambilan keputusan sampai dengan evaluasi dan pengawasan termasuk pelaksanaannya. Dengan mengambil fokus ini tidak menutup kemungkinan untuk menjadikan kekuatan politik atau budaya politik sebagai variabel bebas dalam upaya menjelaskan kebijakan publik tertentu sebagai variabel terikat.



4. DISTRIBUSI KEKUASAAN
Para  scholars ilmu politik telah menciptakan beberapa model yang berbeda untuk menganalisis soal distribusi kekuasaan. Setidaknya ada tigamodel yang ditawarkan para sarjana ilmu politik dalam memahaini distribusikekuasaan (Andrain, 1992 : 154),
 pertama
, model elite berkuasa. Menurutmodel ini sumber kekuasaan terpusat pada sekelompok kecil orang saja.
 Kedua
, model pularis, di mana kekuasan mulai tersebar diantara beberapakelompok sosial masyarakat. Dan,
ketiga
, model kekuasaan popular atau populis, yang mengemukakan bahwa sumber kekuasaan telah menyebar luasdi seluruh kalangan warga negara.
A.Model – Model Distribusi Kekuasaan
1.Model Elite berkuasa atau model Elite yang memeirntah. Kosnepmengenai adanya elite yang memeintah atau berkuasa telah tedapatdalma tulisan Vilfredo Pareto dalam bukunya The Inind and Society;Gaetano Mosca dalam karyanya The Ruling Class, juga dalam tulisanWright Inills, The Power Elite. Mereka akan mengemukakan bahwadalam semua masyarakat (di manapun dan kapanpun) akan selaluterdapat suatu kelompok kecil yang berkuasa atas mayoritas warga.Gaetano Mosca bahkan hanya membagi kategori warga (dalamkonteks kekuasaan) ke dala dua kelompok besar.
 Pertama
, kelompok atau kelas yang memerintah (pemerintah), yang teridir dari sedikit orang, melaksanakan fungsi politik, memonopoli kekuasaan, danmenikmatinya. Dan kedua, klas yang diperintah, yang berjumlah banyak, dan berkecenderungan dimobilisasi oleh penguasa dengancara-cara yang kurang lebih berdasar hukum dan juga paksaan.2.Model Pluralis. Asumsi yang terbangun dalam masyarakat yang relatif demokratis adalah setiap individu menjadi satu anggota suatukelompok atau lebih berdasar pada preferensinya atas kepentingan-kepentingan yang melatar belakanginya.
            Dalam konteks sini kelompok berfungsi sebagai wadah perjuangan kepentingan para anggota dan menjadi perantara antara paraanggotanya, sehingga yang dimaksud dengan model elite yang berkuasa di sini ialah para kelompok yang saling bersaing dan berdialektika sesama kelompok lain dalam mempengaruhi keputusan-keputusan yang akan dibuat pemerintah deini terlaksananya keinginandan kebutuhan kelompok.3.Model kekuasaan popular. Asumsi yang mendasari model populis ataukerakyatan adalah demokrasi. Di mana pada sistem politik demokrasi(liberal) yang dibangun adalah sikap individualisme. Individualismesendiri diasumsikan sebagai: (1) setiap warga negara yang telahdewasa mempunyai hak meinilih dalam peinilihan umum; (2) setiapwarga negara yang sudah dewasa yang mempunyai ininat yang besar untuk aktif dalam proses politik; serta (3 ) setiap warga negara yangdewasa mempunyai kemampuan unutk mengadakan penilaian tehadap proses politik karena mereka memiliki informasi yang memadai.Oleh karena kewenangan tidak terbagi aecara merata, makakewenangan dan atau kekuasaan (agar tidak berperilaku otoirter atau totaliter)harus dialihkan. Alasan lain mengapa kewenangan dan/atau kekuasaan perludilaihkan adalah, bahwa semakin lama seseorang memegang suatu jabatan.Semakin orang tersebut menganggap dan memperlakukan jabatan yangdipegangnya sebagai milik pribadi. Akibatnya. tidak hanya semakin tidak kreatif dia dalam melaksanakan fmtgsi dan perannya dalam bertugas tetapi jugs semakin cenderung mungkin dalam menyalahgunakanjabatan untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Karena itu, peralthan kewenangan daseseorang atau kelompok orang kepada orang atau kelompok lain merupakansuatu keharusan. Menurut Paul Coun (dalam Surbakti, 1992: 89) secara umumterdapat light cars peralihan kewenangan. yakni: pertama, turun menurun,yang dimaksud derngan peralihan kewenangan secara turun menurun ialah jabatan atau kewenangan yang dialihkan kepada ketuninan atau keluarga pemegang jabatan terdahulu. Hal ini dapat dilihat dalam sistem politik yang utonarid dan / atau otokrasi tradisional, kedua peralihan kewenangan dengancaraptharcyalaiiperalihankewenangan melalui kontrak sosial yang berbentuk  pemulihan umum baik yang dilakukan secara langeung ataupun melalui badan perwakilan rakyat. Hal ml dlpraktikan dalam sistem politik yang demokratis.Dan ketiga, peralihan kewenangan melalui paksaan peralihan kewenangansecara paksaan ialah jabatan atau kewenangan terpalcsa dialihkan kepadaorang atau kelompok lain dengan tidak menurut prosedur yang sudabdisepakati tetapi melalui tindak inkonstitusional-kekerasan, seperti paksaantak berdarah revolusi, dan/ atau kudeta.
B.Sirkulasi Elit Kekuasaan
Cara pandang lain untuk melihat sirkulasi elite adalah atau yang dapatterjadi, sebagai berikut :a)Individu – individu dari strata bawah berhasil memasuki ruang elite yangsudah ada; b)Aktor individu atau kelompok yang berasal dari strata bawah membuatsuatu kelompok elite baru yang diperhitungkan dan terlibat dalam perbutan kekuasaan dengan elit yang sudah ada.Terdapat tiga bentuk pertukaran atau sirkulasi elite ang berlangsung dalammekanismeexchange:
 1.Pertukaran atau sirkulasi elite antara pihak pemerintah dengankelompok oposisi yang berasal dari dalam kelas – kelas politik ( political class).
2.Pertukaran atau sirkulasi elite antara yang tergabung dalam kelompok  political class
 dengan kelompok yang pernah berkuasa atau tengahtengah berkuasa.3.Pertukaran      atau sirkulasi elite antara mereka yang berkuasa (therulling class ) dengan mereka yang dikuasai (the ruled class).


5. KEKUASAAN NEGARA
Negara adalah organisasi kekuasaan terbesar yang pernah diciptakan oleh peradaban manusia. Kekuasaan dahsyat yang dimiliki oleh Negara apalagi jika berpusat pada satu pemegang kekuasaan pernah membuat seorang Fir’aun lupa diri sehingga berkata “Ana Rabbakumul a’la”. Aku adalah Tuhan kalian yang tertinggi.
Meskipun Negara dibentuk pada hakikatnya untuk kesejahteraan dan kebaikan warga negara. Akan tetapi bagaimanapun Negara adalah abstrak, in konkreto-nya ada pada pemegang jabatan Negara yang berarti salah satu dari warga Negara juga. Dan warga Negara yang diberi jabatan Negara ini pada dasarnya adalah tetap manusia yang berarti sama dengan warga Negara yang lain yang punya kehendak yang belum tentu selaras dengan keinginan warga Negara yang lain. Kelebihannya dibanding warga Negara yang lain, sang pemegang jabatan memiliki kekuasaan Negara. Oleh karenanya Kaisar Perancis, Raja Louis XIV  pernah berkata “L’etat c’est Moi”. Negara adalah saya.
Tentang karakter kekuasaan yang berada pada seseorang maka ucapan Lord Acton penting dikemukakan: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Atas hal itu Montesquieu memperingatkan : “There would be an end of everything, were the same man or the same body, whether of the nobles or of the people, to exercise those three powers, that of enacting laws, that of executing the public resolutions, and of trying the causes of individuals”.
Oleh karena kekuasaan Negara yang berpusat pada satu tangan cenderung sewenang-wenang maka kekuasaan tidak boleh berpusat pada satu orang. Harus ada pemisahan kekuasaan. Teori ini kemudian menjadi arus utama penyelenggaraan kekuasaan Negara meskipun dengan penafsiran yang terus bergerak sesuai situasi dan kondisi negara-negara di dunia. Meskipun perkembangan zaman tidak hanya  mengenal tiga lembaga kekuasaan murni sebagaimana Teori Montesquieu, kekuasaan Kekuasaan utama Negara pada dasarnya tetap dibagi ke dalam 3 kekuasaan Utama yaitu Eksekutif, Legislatif dan Judikatif.
Kekuasaan Judikatif yang di Indonesia disebut kekuasaan kehakiman pada dasarnya memiliki 2 fungsi utama. Pertama, Menyelesaikan sengketa dalam Negara baik itu antar warga Negara ataupun antara warga Negara dengan Negara. Kedua, mengimbangi kekuasaaan Eksekutif agar tidak berlaku sewenang-wenang;
Kembali kepada kenyataan bahwa Negara adalah abstrak tanpa pemegang jabatan Negara maka demikian juga dengan yang melakukan kekuasaan kehakiman sebagai salah satu kekuasaan Negara. Kekuasaan Kehakiman yang menurut ketentuan Pasal 24 UUD 1945 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi pada hakikatnya adalah lembaga yang abstrak jika tidak ada warga Negara yang secara nyata melakukan kekuasaan tersebut. Pelaku jabatan Negara dalam kerangka kekuasaan kehakiman inilah yang kita kenal sebagai Hakim. Oleh karenanya in konkreto Kekuasaan Kehakiman ada pada diri para Hakim. Hakim adalah Pelaku Nyata Kekuasaan Kehakiman. Tanpa Hakim maka seluruh Badan Peradilan hanyalah angan-angan belaka. keberadaan Hakim adalah penjelmaan dari sebagian wujud Negara itu sendiri. Oleh karenanya in konkreto Kekuasaan Kehakiman ada pada diri para Hakim. Hakim adalah Pelaku Nyata Kekuasaan Kehakiman. Tanpa Hakim maka seluruh Badan Peradilan hanyalah angan-angan belaka. keberadaan Hakim adalah penjelmaan dari sebagian wujud Negara itu sendiri.