Peran
keluarga dalam pembangunan bangsa Indonesia
Sepanjang sejarah peradaban
umat manusia, keluarga merupakan elemen dasar di dalam masyarakat. Agama Samawi percaya bahwa konsep keluarga
sudah dikenal sejak Tuhan menciptakan Adam dan Hawa sebagai manusia pertama di
muka bumi.
Dalam perkembangannya, keluarga menjadi unsur inti dalam
struktur sosial, yaitu sebagai perantara individu dengan masyarakat. Kita dapat
menyaksikan dan telah pula merasakan bagaimana interaksi dan sosialisasi di
dalam keluarga menentukan bagaimana cara seseorang berpikir, bersikap, dan
bertindak di lingkungan sosial yang lebih luas.
Sampai saat ini, keberadaan keluarga di tengah masyarakat
masih tetap dipertahankan. Namun seiring dengan modernisasi, indusrialisasi,
dan globalisasi informasi yang merasuki segenap kehidupan manusia, konsep
keluarga mulai mengalami pergeseran dalam pendefinisian dan pemaknaannya.
Keluarga sesungguhnya dapat memainkan peranan yang sangat
strategis dalam pembangunan, sebagai salah satu pilar pembangunan yang kokoh.
Tantangan bagi masyarakat kita adalah bagaimana mempertahankan identitas atau
jati diri kita sebagai bangsa. Globalisasi yang tidak disikapi secara arif
dikhawatirkan dapat menggerus dan menggerogoti nilai-nilai kebangsaan generasi
muda Indonesia. Apalagi masyarakat Indonesia sangat terbuka dalam menerima
informasi baru dan ada kecenderungan suka melakukan imitasi. Oleh karena itu,
perlu dilakukan penyaringan nilai-nilai budaya asing yang bertentangan dengan
nilai-nilai budaya bangsa Indonesia.
Sementara itu, tantangan pembangunan juga merupakan
pekerjaan rumah yang belum selesai, terutama sekali pembangunan manusia
Indonesia. Dalam LaporanHuman Depelopment Index tahun 2009,
Indonesia masih berada pada peringkat ke-111 dari 182 negara. Terkadang hal ini
memunculkan pertanyaan sekaligus pesimisme : “Mampukah bangsa kita berkompetisi
di era globalisasi yang semakin terbuka lebar?”
Satu tantangan lainnya yang tak boleh dinafikan adalah
pengejewantahan Sila Pertama Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sejak
pertama kali dirumuskan, para founding father republik ini
menyadari pentingnya agama sebagai ruh dalam aktivitas masyarakat Indonesia.
Negara Indonesia adalah negara yang religius. Permasalahan muncul ketika
nilai-nilai agama telah melapuk sehingga agama tidak lagi memberi makna dalam
setiap sendi-sendi kehidupan masyarakat. Agama tidak lagi menjadi kontrol
individu untuk malu melakukan pelanggaran dan kejahatan. Ironisnya, di sisi
lain agama seringkali digunakan sebagai kontrol sosial yang negatif, terbukti
dengan maraknya kekerasan atas nama agama yang dilakukan oleh orang-orang yang
“taat beribadah”. Bagi negara Indonesia yang masyarakatnya sangat plural,
keadaan ini sangat rentan untuk memecah belah persatuan yang telah terjalin
lebih dari setengah abad, sehingga kita perlu segera mengambil sikap.
Komitmen pembangunan manusia melalui keluarga, terutama
sekali pembinaan para generasi muda Indonesia belum menjadi agenda utama dalam
pembangunan. Padahal banyak pihak yang menyadari begitu strategisnya peran
keluarga dalam mencetak generasi muda yang berkualitas. Terlebih lagi,
perubahan nilai-nilai sosial budaya yang semakin tidak pasti di era globalisasi
informasi ini tidak akan dapat dinetralisir dengan pendekatan model ekonomi
saja. Kalau tidak yang terjadi adalah munculnya distorsi dalam pembangunan,
yaitu peningkatan pertumbuhan ekonomi yang tidak diikuti oleh peningkatan kualitas
mental dan spiritual manusianya.
Keluarga yang punya potensi strategis di dalam
pembangunan akhirnya dibiarkan berdiri sendiri melakukan edukasi kepada
anggotanya. Sementara itu, oleh sebagian besar keluarga peran ini kerapkali
malah dilimpahkan kepada institusi pendidikan, sehingga tanggung jawab
pendidikan ada di pihak sekolah. Institusi keluarga seolah-olah melepaskan
tanggung jawab mereka dalam menciptakan sumberdaya manusia bangsa yang
berkualitas. Padahal banyak pakar berpendapat bahwa krisis di dalam keluarga
merupakan awal dari krisis-krisis di kehidupan lain yang lebih luas.
Pembinaan Keluarga
Peningkatan kualitas generasi muda merupakan masalah
nasional. Namun pelaksanaannya bukan saja menjadi tanggung jawab pemerintah,
tetapi juga menjadi tanggung jawab masyarakat, dan terutama sekali keluarga
sebagai unsur inti dalam masyarakat. Oleh sebab itu, dibutuhkan pembinaan
keluarga yang ditujukan untuk meningkatkan keberfungsian keluarga. Suatu
keluarga dikatakan berfungsi apabila keluarga tersebut dapat memainkan
peranannya sebagaimana seharusnya.Kebiasaan, bahasa, norma, dan sistem nilai
yang berlaku dalam masyarakat ditransformasikan kepada anak melalui pranata
keluarga. Dalam lingkungan keluarga, anak belajar sopan santun, membedakan
mana yang baik dan mana yang buruk.
Pilihan Kebijakan
Sesungguhnya ada begitu banyak pilihan kebijakan yang
dapat ditempuh oleh pemerintah dalam melindungi dan mendorong keberfungsian
keluarga Indonesia. Berikut ini adalah beberapa usul pilihan kebijakan yang
mungkin dapat dipertimbangkan.
1. Revitalisasi Organisasi Keluarga yang Sudah Ada
Dalam menyikapi berbagai perubahan sosial budaya dan
kompetisi dunia yang semakin tinggi, maka penguatan kapasitas dan kapabilitas
kelembagaan yang sudah ada perlu dilakukan. Selama ini, organisasi yang
bergerak di bidang keluarga seperti PKK dan BKKBN terlalu besar porsi
perhatiannya pada peningkatan ekonomi dan kesejahteraan keluarga, sementara di
sisi lain sering menomorduakan penguatan peran edukasi oleh keluarga.
Melihat keberfungsian keluarga dalam pendidikan anak
dewasa ini mulai mengeropos akibat kesibukan orang tua yang semakin tinggi,
organisasi keluarga di atas perlu juga memberi pengertian dan membangkitkan
kembali kesadaran bahwa tanggung jawab membina anak di rumah sama pentingnya
dengan mengejar karir di luar rumah. Selain itu, organisasi keluarga juga perlu
mensosialisasikan kepada setiap keluarga dan sekolah akan pentingnya penerapan
pola asuh demokratis dalam membina anak.
2. Koordinasi Institusi Pendidikan-Keluarga-Masyarakat
Koordinasi antara institusi pendidikan, keluarga, dan
masyarakat ditambah peran negara dari atas perlu juga dikembangkan agar
tercipta sebuah model pembinaan generasi muda yang integratif, sehingga tidak
terjadi kesenjangan pendidikan di ranah publik dan ranah domestik. Bagaimana prosedur
koordinasi ini membutuhkan diskusi panjang yang perlu dibicarakan lebih lanjut.
3. Konstruksi Kultural
Konstruksi kultural dapat berarti membangun sebuah
persepsi masyarakat tentang sesuatu yang dianggap ideal, penting, dan mendesak.
Hal ini melibatkan adanya realitas yang diambil dan adanya realitas yang
ditinggalkan. Simbol-simbol tentang kebaikan, kebenaran, kepahlawanan,
pengabdian, dan sebagainya diciptakan sedemikian rupa sehingga membentuk pola
nilai dan pandangan tertentu. Konstruksi ini perlu diciptakan oleh pemerintah
untuk disosialisasikan dan dibudayakan kepada masyarakat luas. Tujuan idealnya
adalah agar tercipta budaya unggul (culture of exellence) yang meresap
ke dalam sanubari masyarakat.
Sebenarnya setiap suku bangsa di Indonesia sudah memiliki
budaya unggul dengan karakteristiknya masing-masing. Namun, perubahan zaman
yang semakin kompleks membutuhkan adanya pengayaan terhadap budaya unggul yang
sudah ada, yang mana sumbernya dapat berasal dari budaya-budaya lokal maupun
budaya asing yang konstruktif.
4. Regulasi Undang-Undang Keluarga Nasional
Melihat kepada begitu bebasnya arus informasi di era
globalisasi di mana sebagian diantaranya sangat destruktif, ditambah lagi
dengan masalah ketidakberfungsian keluarga, rendahnya kualitas sumber daya
manusia dan moral bangsa sebenarnya mengerucut pada satu pemikiran, yaitu bahwa
negara kita membutuhkan sebuah Undang-Undang Keluarga Nasional yang bisa
mengakomodasi kepentingan di atas. Isu ini perlu dikaji secara kontinu dan
lebih mendalam oleh berbagai ahli lintas disiplin ilmu. Kemudian dengan
merangkul segenap instansi seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan,
Kementrian Pendidikan, Kementrian Agama, Kementrian Sosial, dan sebagainya,
serta dengan melibatkan peran serta lembaga swadaya masyarakat, kita dapat
mengusulkan suatu rancangan undang-undang keluarga nasional yang bermutu kepada
badan legislatif. Regulasi Undang-Undang Keluarga Nasional pada tataran makro
sangat dibutuhkan mengingat negara tidak akan dapat menjalankan suatu program tanpa
kebijakan. Dan proses regulasi ini pun hendaknya melibatkan kesadaran di
tingkat akar rumput.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar