Selasa, 06 November 2012

Peran keluarga dalam pembangunan bangsa Indonesia


Peran keluarga dalam pembangunan bangsa Indonesia
Sepanjang sejarah peradaban umat manusia, keluarga merupakan elemen dasar di dalam masyarakat.  Agama Samawi percaya bahwa konsep keluarga sudah dikenal sejak Tuhan menciptakan Adam dan Hawa sebagai manusia pertama di muka bumi.
Dalam perkembangannya, keluarga menjadi unsur inti dalam struktur sosial, yaitu sebagai perantara individu dengan masyarakat. Kita dapat menyaksikan dan telah pula merasakan bagaimana interaksi dan sosialisasi di dalam keluarga menentukan bagaimana cara seseorang berpikir, bersikap, dan bertindak di lingkungan sosial yang lebih luas.
Sampai saat ini, keberadaan keluarga di tengah masyarakat masih tetap dipertahankan. Namun seiring dengan modernisasi, indusrialisasi, dan globalisasi informasi yang merasuki segenap kehidupan manusia, konsep keluarga mulai mengalami pergeseran dalam pendefinisian dan pemaknaannya.
Keluarga sesungguhnya dapat memainkan peranan yang sangat strategis dalam pembangunan, sebagai salah satu pilar pembangunan yang kokoh. Tantangan bagi masyarakat kita adalah bagaimana mempertahankan identitas atau jati diri kita sebagai bangsa. Globalisasi yang tidak disikapi secara arif dikhawatirkan dapat menggerus dan menggerogoti nilai-nilai kebangsaan generasi muda Indonesia. Apalagi masyarakat Indonesia sangat terbuka dalam menerima informasi baru dan ada kecenderungan suka melakukan imitasi. Oleh karena itu, perlu dilakukan penyaringan nilai-nilai budaya asing yang bertentangan dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia.
Sementara itu, tantangan pembangunan juga merupakan pekerjaan rumah yang belum selesai, terutama sekali pembangunan manusia Indonesia. Dalam LaporanHuman Depelopment Index tahun 2009, Indonesia masih berada pada peringkat ke-111 dari 182 negara. Terkadang hal ini memunculkan pertanyaan sekaligus pesimisme : “Mampukah bangsa kita berkompetisi di era globalisasi yang semakin terbuka lebar?”
Satu tantangan lainnya yang tak boleh dinafikan adalah pengejewantahan Sila Pertama Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sejak pertama kali dirumuskan, para founding father republik ini menyadari pentingnya agama sebagai ruh dalam aktivitas masyarakat Indonesia. Negara Indonesia adalah negara yang religius. Permasalahan muncul ketika nilai-nilai agama telah melapuk sehingga agama tidak lagi memberi makna dalam setiap sendi-sendi kehidupan masyarakat. Agama tidak lagi menjadi kontrol individu untuk malu melakukan pelanggaran dan kejahatan. Ironisnya, di sisi lain agama seringkali digunakan sebagai kontrol sosial yang negatif, terbukti dengan maraknya kekerasan atas nama agama yang dilakukan oleh orang-orang yang “taat beribadah”. Bagi negara Indonesia yang masyarakatnya sangat plural, keadaan ini sangat rentan untuk memecah belah persatuan yang telah terjalin lebih dari setengah abad, sehingga kita perlu segera mengambil sikap.
Komitmen pembangunan manusia melalui keluarga, terutama sekali pembinaan para generasi muda Indonesia belum menjadi agenda utama dalam pembangunan. Padahal banyak pihak yang menyadari begitu strategisnya peran keluarga dalam mencetak generasi muda yang berkualitas. Terlebih lagi, perubahan nilai-nilai sosial budaya yang semakin tidak pasti di era globalisasi informasi ini tidak akan dapat dinetralisir dengan pendekatan model ekonomi saja. Kalau tidak yang terjadi adalah munculnya distorsi dalam pembangunan, yaitu peningkatan pertumbuhan ekonomi yang tidak diikuti oleh peningkatan kualitas mental dan spiritual manusianya.
Keluarga yang punya potensi strategis di dalam pembangunan akhirnya dibiarkan berdiri sendiri melakukan edukasi kepada anggotanya. Sementara itu, oleh sebagian besar keluarga peran ini kerapkali malah dilimpahkan kepada institusi pendidikan, sehingga tanggung jawab pendidikan ada di pihak sekolah. Institusi keluarga seolah-olah melepaskan tanggung jawab mereka dalam menciptakan sumberdaya manusia bangsa yang berkualitas. Padahal banyak pakar berpendapat bahwa krisis di dalam keluarga merupakan awal dari krisis-krisis di kehidupan lain yang lebih luas.
Pembinaan Keluarga
Peningkatan kualitas generasi muda merupakan masalah nasional. Namun pelaksanaannya bukan saja menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga menjadi tanggung jawab masyarakat, dan terutama sekali keluarga sebagai unsur inti dalam masyarakat. Oleh sebab itu, dibutuhkan pembinaan keluarga yang ditujukan untuk meningkatkan keberfungsian keluarga. Suatu keluarga dikatakan berfungsi apabila keluarga tersebut dapat memainkan peranannya sebagaimana seharusnya.Kebiasaan, bahasa, norma, dan sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat ditransformasikan kepada anak melalui pranata keluarga. Dalam lingkungan keluarga, anak belajar sopan santun, membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Pilihan Kebijakan
Sesungguhnya ada begitu banyak pilihan kebijakan yang dapat ditempuh oleh pemerintah dalam melindungi dan mendorong keberfungsian keluarga Indonesia. Berikut ini adalah beberapa usul pilihan kebijakan yang mungkin dapat dipertimbangkan.
1. Revitalisasi Organisasi Keluarga yang Sudah Ada
Dalam menyikapi berbagai perubahan sosial budaya dan kompetisi dunia yang semakin tinggi, maka penguatan kapasitas dan kapabilitas kelembagaan yang sudah ada perlu dilakukan. Selama ini, organisasi yang bergerak di bidang keluarga seperti PKK dan BKKBN terlalu besar porsi perhatiannya pada peningkatan ekonomi dan kesejahteraan keluarga, sementara di sisi lain sering menomorduakan penguatan peran edukasi oleh keluarga.
Melihat keberfungsian keluarga dalam pendidikan anak dewasa ini mulai mengeropos akibat kesibukan orang tua yang semakin tinggi, organisasi keluarga di atas perlu juga memberi pengertian dan membangkitkan kembali kesadaran bahwa tanggung jawab membina anak di rumah sama pentingnya dengan mengejar karir di luar rumah. Selain itu, organisasi keluarga juga perlu mensosialisasikan kepada setiap keluarga dan sekolah akan pentingnya penerapan pola asuh demokratis dalam membina anak.
2. Koordinasi Institusi Pendidikan-Keluarga-Masyarakat
Koordinasi antara institusi pendidikan, keluarga, dan masyarakat ditambah peran negara dari atas perlu juga dikembangkan agar tercipta sebuah model pembinaan generasi muda yang integratif, sehingga tidak terjadi kesenjangan pendidikan di ranah publik dan ranah domestik. Bagaimana prosedur koordinasi ini membutuhkan diskusi panjang yang perlu dibicarakan lebih lanjut.
3. Konstruksi Kultural
Konstruksi kultural dapat berarti membangun sebuah persepsi masyarakat tentang sesuatu yang dianggap ideal, penting, dan mendesak. Hal ini melibatkan adanya realitas yang diambil dan adanya realitas yang ditinggalkan. Simbol-simbol tentang kebaikan, kebenaran, kepahlawanan, pengabdian, dan sebagainya diciptakan sedemikian rupa sehingga membentuk pola nilai dan pandangan tertentu. Konstruksi ini perlu diciptakan oleh pemerintah untuk disosialisasikan dan dibudayakan kepada masyarakat luas. Tujuan idealnya adalah agar tercipta budaya unggul (culture of exellence) yang meresap ke dalam sanubari masyarakat.
Sebenarnya setiap suku bangsa di Indonesia sudah memiliki budaya unggul dengan karakteristiknya masing-masing. Namun, perubahan zaman yang semakin kompleks membutuhkan adanya pengayaan terhadap budaya unggul yang sudah ada, yang mana sumbernya dapat berasal dari budaya-budaya lokal maupun budaya asing yang konstruktif.
4. Regulasi Undang-Undang Keluarga Nasional
Melihat kepada begitu bebasnya arus informasi di era globalisasi di mana sebagian diantaranya sangat destruktif, ditambah lagi dengan masalah ketidakberfungsian keluarga, rendahnya kualitas sumber daya manusia dan moral bangsa sebenarnya mengerucut pada satu pemikiran, yaitu bahwa negara kita membutuhkan sebuah Undang-Undang Keluarga Nasional yang bisa mengakomodasi kepentingan di atas. Isu ini perlu dikaji secara kontinu dan lebih mendalam oleh berbagai ahli lintas disiplin ilmu. Kemudian dengan merangkul segenap instansi seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Kementrian Pendidikan, Kementrian Agama, Kementrian Sosial, dan sebagainya, serta dengan melibatkan peran serta lembaga swadaya masyarakat, kita dapat mengusulkan suatu rancangan undang-undang keluarga nasional yang bermutu kepada badan legislatif. Regulasi Undang-Undang Keluarga Nasional pada tataran makro sangat dibutuhkan mengingat negara tidak akan dapat menjalankan suatu program tanpa kebijakan. Dan proses regulasi ini pun hendaknya melibatkan kesadaran di tingkat akar rumput.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar