WAWASAN NUSANTARA
Wawasan nusantara adalah geopolitik Indonesia. Ia
mengandung unsur-unsur atau konsepsi yang terdapat dalam geopolitik seperti
dipaparkan pada bab sebelumnya. Akan tetapi ia juga dapat disebut
geopolitik apabila ditinjau dari tataran pemikiran/konsepsi yang berlaku di
Indonesia, yaitu bahwa ia merupakan pra-syarat bagi terwujudnya cita-cita
nasional yang tertuang dalam Pancasila (periksa Bab Pendahuluan). Dalam
hal pra-syarat ini sudah barang tentu memanfaatkan ruang (fisik atau semu) di
dalam membentuk persatuan dan atau kesatuan.Konfigurasi Indonesia adalah unik dan
sekaligus amat menentang, masih ditambah lagi dengan ciri-ciri demografi,
anthropologi, meteorologi dan latar belakang sejarah yang memberi peluang
munculnya dis-integrasi bangsa. Tidaklah mengherankan apabila para
pendiri Republik sejak dini telah meletakkan dasar-dasar geopolitik Indonesia
yaitu melalui ikrar Soempah Pemoeda, dimana amanatnya adalah: Satoe
Noesa, yang berarti keutuhan ruang nusantara; Satoe Bangsa,
yang merupakan landasan kebangsaan Indonesia; Satoe Bahasa, yang
merupakan faktor pemersatu seluruh ruang nusantara bersama isinya.
Kebangsaan Indonesia sebenarnya terdiri dari 3 (tiga) unsur
geopolitik yaitu:
1. Rasa Kebangsaan
2. Paham Kebangsaan
3. Semangat Kebangsaan
Ketiga-tiganya menyatu secara utuh menjadi jiwa bangsa
Indonesia dan sekaligus pendorong tercapainya cita-cita Proklamasi. Rasa
kebangsaan adalah sublimasi dari Soempah Pemoeda dan menyatukan tekad
menjadi bangsa yang kuat, dihormati dan disegani diantara bangsa-bangsa di
dunia ini. Dalam kaitan dengan status bangsa yang demikian itulah
Presiden Soekarno secara konsisten menggembleng rasa kebangsaan kita agar
seluruh bangsa ini terbebas dari rasa rendah diri. Hasilnya, kita seluruh
bangsa Indonesia bangga menjadi warga bangsa walaupun secara ekonomis sangat
lemah. Rasa kebangsaan merupakan perekat persatuan dan kesatuan, baik
dalam makna spirit maupun geografi, sehingga secara operasional dapat membantu
meniadakan kemungkinan munculnya frontier. Semangat kebangsaan bukanlah
monopoli dari warga bangsa yang pribumi saja akan tetapi dapat dan harus milik
semuanya seluruh warga bangsa.
Di atas landasan rasa kebangsaan yang kokoh dapatlah
dibangunFaham Kebangsaan yang merupakan pengertian yang mendalam
tentang apa dan bagaimana bangsa itu serta bagaimana mewujudkan masa
depannya. Ia merupakan intisari dari visi warga bangsa tentang kemana
bangsa ini harus dibawa ke masa depan dalam suasana lingkungan yang semakin
menantang. Secara formal faham kebangsaan ini dapat dibina melalui proses
pendidikan dan pengajaran dalam bentuk materi ajaran, misalnya Wawasan
Nusantara, Ketahanan Nasional, Doktrin dan Strategi Pembangunan Nasional,
Sejarah dan Budaya Bangsa, dan sebagainya. Untuk itu para perancang
materi pengajaran harus benar-benar memiliki visi dan pengetahuan tentang
kebangsaan serta kaitannya dengan kepentingan geopolitik.
Pada akhirnya menjaga kelangsungan hidup bangsa akan
terpulang pada Semangat Kebangsaan atau nasionalisme,
merupakan produk akhir dari sinergi rasa kebangsaan dengan faham kebangsaan.
Banyak pakar yang berpendapat bahwa konsepsi tentang rasa kebangsaan atau
wawasan kebangsaan secara keseluruhan sudah usang dan ketinggalan zaman.
Kemungkinan besar hal itu perlu dipikirkan kembali, sebagai contoh lihatlah
negara-negara dunia ketiga yang terkena sanksi embargo dari penguasa dunia yang
bernama Dewan Keamanan PBB. Nyatanya mereka tetap survive hingga sekarang
tidak lain berkat wawasan kebangsaan yang mantap.
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa geopolitik
hanya akan efektif apabila dilandasi oleh wawasan kebangsaan yang mantap,
karena tanpa itu ia tidak lebih hanya permainan politik semata, sebab wawasan
kebangsaan akan membuat ikrar satoe bangsa terwujud dan bangsa yang satu itu
dapat mewujudkan satoe noesa dengan berbekal landasan satoe bahasa.
Oleh karena adanya amanat yang demikian itulah maka Wawasan
Nusantara secara ilmiah dirumuskan dalam bentuk konsepsi tentang Kesatuan yang
meliputi:
1. Kesatuan Politik,
2. Kesatuan Ekonomi,
3. Kesatuan Sosial Budaya, dan
4. Kesatuan Hankam.
Keempatnya sesungguhnya merupakan jabaran dari Soempah
Pemoeda.
Kesatuan Politik
Kesatuan politik disadari pentingnya dari adanya kebutuhan
untuk mewujudkan pulau-pulau diwilayah nusantara menjadi satu entity yang utuh
sebagai tanah air. Ini berarti bahwa tidak ada lagi laut bebas diantara
pulau-pulau tersebut, sehingga laut diantara pulau-pulau itu berubah wataknya
dari pemisah menjadi pemersatu. Tanah air nusantara. Kesadaran
tersebut diatas dipacu oleh pengalaman adanya intervensi asing berupa kapal laut
maupun kapal terbang yang membantu pemberontakan pada tahun lima puluhan.
Pada tahun 1957 kesadaran demikian diwujudkan dalam bentuk Deklarasi Djuanda
yang kemudian diangkut menjadi Perpu No. 4/1960. Kesatuan geografi yang
menjadi bagian dari kesatuan politik, sebagaimana dideklarasikan oleh Perdana
Menteri Djuanda itu dinamakan Azas Nusantara (ia merupakan
bagian dari Wawasan Nusantara).
Azas Nusantara lahir karena secara langsung adanya kebutuhan
rasa aman dan keamanan bangsa dan negara, sehingga pemerintah dapat mengatur
seluruh tanah air yang satu dan utuh. Sesuai dengan Doktrin TNI bahwa
ancaman terhadap satu pulau (atau sejengkal tanah) dianggap sebagai ancaman
terhadap seluruh negara. Azas nusantara merupakan konsepsi ruang bangsa Indonesia
yang sangat unik, baik ditinjau dari pemikiran Ratzel maupun Mahan.
Dengan keyakinan bahwa laut nusantara merupakan pemersatu ruang negara maka
sesungguhnya sejak Deklarasi Djuanda secara psikologi bangsa kita menganggap
ruang negaranya merupakan satu “benua”.
Dengan telah dikukuhnya negara Indonesia oleh Konvensi Hukum
Laut 1982 sebagai Archipelagic State maka semakin mantaplah gambaran psikologis
tadi. Archipelagic State merupakan hal baru dalam khasanah hukum
international positif sehingga bagi warga dunia lainnya masih diperlukan
adaptasi untuk menghadapi realitas baru ini, terutama sekali bagi para
stake holders.
Pemerintah harus mampu menegakkan kekuasaannya disamping
kewajibannya terhadap rakyat maupun terhadap masyarakat international; untuk
itu diperlukan hukum yang satu dalam rumusan, dalam niat, dalam interprestasi,
dalam pelaksanaannya serta dalam enforcementnya.
Diseluruh wilayah negara hanya berlaku satu hukum nasional
dengan niat untuk diabadikan kepada kepentingan bangsa dan negara. Bahwa ada
daerah khusus, daerah otonomi khusus, atau daerah otonomi diperluas hanyalah
merupakan nuansa dalam administrasi pemerintahan. Adanya satu hukum
nasional dengan satu interprestasi resmi merupakan satu keharusan bagi
terwujudnya respek kepada pemerintah dan negara tidak hanya dari rakyatnya
sendiri akan tetapi juga dari masyarakat international. Terjadinya
kekisruhan dalam perundang-undangan yang ditandai oleh saling bertabrakannya
berbagai undang-undang yang dirancang oleh tiap Departemen Teknis menunjukkan
bahwa masalah kesatuan masih perlu ditata kembali. Juga semakin
populernya Surat Keputusan Bersama (SKB) antara beberapa Menteri menunjukkan
kurangnya wibawa seorang Menteri dalam mengatur kegiatan masyarakat.
Dalam keadaan begini, soal good governance perlu dicermati agar wibawa
pemerintah di dalam dan di luar negeri terjaga.
Setelah Timor Timur diizinkan untuk melaksanakan referendum
maka warga Aceh menuntut yang sama, dan ada kemungkinan disusul yang lainnya
lagi. Gejala demikian dapat dilihat dari segi tatanegara dan menyebutnya
sebagai gejala dis-integrasi atau dilihat dari segi politik sebagai gejala
mencairnya kesatuan politik. Dalam masyarakat plural dan heterogen,
integrasi dan atau kesatuan politik hanya dapat dipertahankan oleh pemerintah
yang berwibawa dan pimpinan nasional yang kuat kepemimpinannya. Lepasnya
Timor Timur dari Indonesia merupakan bukti bahwa menangkal terjadinya
dis-integrasi juga memerlukan pengertian tentang konsepsi ruang, yaitu, bahwa
manakala kesatuan politik tidak dapat dipertahankan maka serta merta muncullah
frontier. Karena itu kesatuan politik (dan ruang) adalah mutlak untuk
menanggulangi dis-integrasi bangsa dan negara.
Kesatuan Ekonomi
Telah diuraikan terdahulu bahwa kegiatan ekonomi memerlukan
ruang gerak; dan ini dapat disediakan melalui proses demokratisasi. Akan
tetapi demokrasi tidaklah berarti berbuat sesuai aturannya sendiri-sendiri akan
tetapi perlu taat pada koridor yang telah disepakati bersama, artinya sistem
perekonomian nasional haruslah seiring dengan sistem politik nasional.
Jika sistem politik menganut azas desentralisasi, maka segala perijinan pun
harus didesentralisir. Jika pendapatan dari kekayaan alam dibagi secara
adil antara pusat dan daerah maka kewenangan untuk memberikan dan menentukan
area konsesi eksplorasi maka juga pemerintah daerah diberikan peranan secara
proporsional. Rasa ketidakberdayaan pemerintah daerah terhadap pemerintah
pusat merupakan benih awal dis-integrasi.
Setelah kegiatan ekonomi diberikan ruang gerak yang cukup
maka perlu dijaga kesatuannya diseluruh wilayah negara, antara lain, berlakunya
satu mata uang tunggal, yaitu rupiah. Pada saat krisis ekonomi memuncak
dan nilai tukar rupiah sangat labil, maka mencairlah kesatuan ekonomi karena
untuk sementara para pelaku ekonomi bertransaksi dengan dollar AS.
Demikian juga sampai dengan tahun enam puluhan di Riau diberlakukan rupiah
khusus yang dinilai tukarnya dipatok dengan dollar Singapura sebagai akibat
derasnya perdagangan lintas batas dan kurangnya kegiatan ekonomi dengan Pusat.
Kesatuan ekonomi juga bermakna kesatuan tafsir ke arah mana
perekonomian nasional diperuntukkan. Jawabnya adalah untuk kemanfaatan
sebesar-besarnya bagi rakyat sesuai amanat UUD ‘45. Seandainya
pemanfaatan sumber dengan alam hanya dinikmati oleh para konglomerat saja maka
hilanglah kesatuan tadi, dan akibatnya seperti yang kita saksikan
bersama. Apabila cita-cita para pendiri Republik adalah mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur atau masyarakat makmur yang berkeadilan, maka
kesatuan ekonomi harus diwujudkan dan dipertahankan.
Bagi daerah perbatasan yang terpencil dan sistem sirkulasi
nasional sangat minim, kadang-kadang kesatuan ekonomi tidak terasakan.
Mereka lebih terjangkau oleh kesatun ekonomi dari sistem negara tetangga; yang
apabila didiamkan saja (banyak daerah yang mengalami hal itu) maka bisa
menumbuhkan frontier. Bagi rakyat kecil, khusus di daerah perbatasan dan
daerah terpencil, kesatuan ekonomi mungkin sekali lebih bermakna dibandingkan
dengan kesatuan politik (dalam artian sistem politik). Karena itu bagi
negara seperti Indonesia ini, yang konfigurasi geografinya amat menantang
perencanaan pembangunan harus diorientasikan pada prinsip geopolitik bangsa Wawasan
Nusantara.
Datangnya globalisasi memang merupakan tantangan bagi azas
kesatuan ekonomi, karena banyak hal-hal yang dahulu bisa diputuskan oleh
pemerintah maka sekarang ini harus diserahkan pada kekuatan pasar global.
Pemerintah memang tetap berdaulat atas mata uang rupiah akan tetapi terhadap
nilai tukarnya tidak lagi. Tiap pemerintahan yang berusaha menetapkan nilai
tukar mata uangnya akan mendapat tekanan pasar yang luar biasa. Demikian
juga munculnya lembaga-lembaga keuangan internasional yang seakan-akan
merupakan satu entitas yang berdaulat juga menjadi tantangan tersendiri
terhadap kedaulatan dan kewibawaan negara. Padahal untuk menegakkan
kewibawaan perlu kedaulatan dan sebaliknya.
Kesatuan Sosial Budaya
Bangsa Indonesia sesungguhnya mewujud atas dasar kesepakatan
bukan atas dasar sejarah atau geografi. Dalam BPUPKI terjadi perdebatan
antara para tokoh pendiri Republik ini tentang apa itu bangsa Indonesia dan apa
itu wilayah negara Indonesia. Ini adalah salah satu bukti bahwa bangsa
dan bahkan negara Indonesia mewujud atas dasar kesepakatan. Setelah itu
terjadi berbagai kesepakatan lain yang mengikutinya, misalnya saja tentang
bentuk negara kesatuan bukan federasi. Serangkaian
kesepakatan para pendiri Republik itulah yang seyogyanya perlu dijaga dan
dijadikan commitment bersama seluruh bangsa, karena semua kesepakatan yang
telah dibuat itu merupakan bingkai dari jatidiri bangsa, yang apabila diingkari
bagian-bagiannya maka mencairlah jatidiri itu.
Ada sementara pakar yang ahli dalam bidangnya menyarankan
bahwa apa yang ada itu, termasuk Pancasila, jangan dikeramatkan alias dapat
diubah atau ditinggalkan sama sekali. Sebenarnya kalau akan bereksperimen
sudah barang tentu tidak ada yang melarang asalkan bukan pada tingkat bangsa
dan negara. Contoh eksperimen tingkat negara yang berbahaya adalah
referendum di Timor Timur yang tidak menyelesaikan masalah akan tetapi justru
menciptakan masalah yang baru yang lebih kompleks.
Kesatuan sosial budaya sesungguhnya merupakan sublimasi dari
rasa, faham dan semangat kebangsaan. Tanpa memandang suku, ras dan agama
serta asal keturunan, perasaan satu dimungkinkan untuk dibentuk asal sama-sama
mengacu pada wawasan kebangsaan Indonesia sebagaimana dicontohkan oleh Soempah
Pemoeda.
Pelestarian serta pengembangan budaya daerah, ciri-ciri asli
daerah, memang amat diperlukan dalam rangka pengakaran penduduk setempat pada
nilai-nilai budayanya; akan tetapi hal itu tidaklah seharusnya mendorong
munculnya sentimen ke daerah sempit. Nilai budaya daerah memang harus
dilestarikan, sebab tidak ada yang dinamakan budaya nasional, dan pelestarian
itu justru dimaksudkan sebagai bagian dari pemupukan identitas nasional.
Sejarah umat manusia telah memberikan berbagai contoh surutnya kebesaran satu
bangsa atau bahkan musnah satu suku bangsa di zaman dahulu; dan proses itu
selalu didahului oleh kemorosotan budayanya karena tidak ada upaya
pelestarian. Pada zaman modern ini terjadi pula hal yang hampir serupa
yaitu musnahnya negara Yugoslavia seperti yang kita kenal dahulu. “Bangsa”
Yugoslavia adalah hasil kesepakatan diantara para pendirinya. Beda dengan
Indonesia adalah bahwa disana tidak ada satu bahasa melainkan
4 (empat) bahasa resmi, sehingga rasa satu berlangsung hanya selama dapat
bersandar pada Tito.
Pertentangan agama juga secara potensial menghalangi
terjadinya kesatuan sosial budaya walau kedua belah pihak berada dalam satu
suku atau bangsa, misalnya apa yang terjadi di Irlandia Utara, Bosnia, Kosovo
dan sebagainya. Karena itu amat penting apabila pengajaran agama disekolah-sekolah
formal dan non-formal perlu diberikan masukan tentang kebangsaan dan juga
sebaliknya.
Mengingat agama memberikan landasan kekuatan iman dan moral
pada setiap individu masyarakat bangsa maka niscaya hal tersebut akan berujung
pada pembentukan ketahanan pribadi masing-masing warga, dan
hal inilah yang amat bermanfaat dalam pembinaan kesatuan sosial budaya.
Kesatuan sosial budaya dikaitkan dengan pembentukan
ketahanan pribadi merupakan penangkalan terhadap kemungkinan terjadinya
frontier. Hal ini perlu diwaspadai karena setiap budaya mempunyai ciri
atau kemampuan untuk men-subversi budaya lain secara halus dan tak terasa
terjadinya. Hanya kesatuan dan kekuatan budayalah yang dapat
menangkalnya, dan itu berarti harus dijaga secara terus menerus agar proses
pewarisan berlangsung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar